ANALISA HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ATAS PENGALIHAN
OBYEK JAMINAN FIDUSIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG
HUKUM JAMINAN FIDUSIA
NAMA MAHASISWA
NPM
:
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum
Telah disetujui oleh Tim Penguji pada tanggal seperti
tertera di bawah ini
Medan,
............................2014
Disetujui oleh,
(Prof. Dr. Hj. Mariam
Darus Badrulzaman, SH)
Ketua
STIH Graha Kirana
(Karolina Sitepu, SH, MH)
Pembimbing
SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)
GRAHA KIRANA
MEDAN
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Setiap
kegiatan usaha yang memerlukan fasilitas kredit, disyaratkan harus ada jaminan
dalam pelaksanaannya. Bagi pemberi kredit atau kreditor, pemberian kredit
lazimnya akan dilaksanakan apabila terdapat jaminan pemberian kredit terlebih
dahulu, meskipun pemberian jaminan bukanlah merupakan syarat mutlak. Hal ini
dilakukan karena kredit yang telah diberikan mengandung resiko, sehingga dalam
pelaksanaannya, pemberi kredit harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang
sehat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan “Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus memperhatikan atas perkreditan berdasarkan Prinsip
Syariah yang sehat .”
Mengurangi
resiko tersebur, diperlukan jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai
dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh
bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank
harus melakukan penelitian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan dan proyek usaha dari Nasabah Debitur.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tahun Jaminan Fidusia berlaku terhadap
setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia,
terutama bagi Lembaga Pembiayaan (Leasing). Pembebanan jaminan fidusia ini juga
memiliki aspek pidana. Salah satu tindak pidana yang berhubungan dengan
pelaksanaan dengan pelaksanaan fidusia adalah adanya pengalihan abjek jaminan
fidusia oleh yang tidak berhak.
Obyek jaminan
fidusia adalah barang-barang yang secara sosial dapat menunjang kelancaran jalannya
suatu usaha/perusahaan.
Undang-Undang Jaminan Fidusia
menjelaskan beberapa benda yang dapat dijadikan sebagai obyek jaminan fidusia,
yang akan tersebar dalam beberapa pasal Ketentuan tersebut antara lain terdapat
Pasal 1 angka (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda obyek jaminan
fidusia tersebut adalah:
1.
Benda tersebut harus
dapat memilih dan dialihkan secara hukum
2.
Dapat atas benda
berwujud.
3.
Dapat juga atas benda
tidak berwujud,termasuk piutang
4.
Dapat bergerak
5.
Benda tidak bergerak
yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan
6.
Bendfa tidak bergerak
yang tidak dapat dikaitkan dengan hipotik
7.
Baik atas benda yang
sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal ini
benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan
fidusia tersendiri.
8.
Dapat atas suatu satuan
atau jenis benda
9.
Dapat juga atas lebih
dari sutu jenis atau satuan benda
10.
Termasuk hasil benda
yang telah menjadi obyek fidusia
11.
Termasuk juga hasil
dari benda yang telah menjadi obyek jaminan fidusia.
12.
Benda persediaan
(inventory, stock perdangangan) dapat juga menjadi obyek fidusia.[1]
Tindak pidana
hanyalah menunjuk kepada dilarang an diancamnya perbuatan itu dengan suatu
pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana
sebagaimana telah diancam akan sangat tergantung pada soal apakah dalam
melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Kebanyakan rumusan
tindak pidana mengatur unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang
terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini menguasai atau
meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan .
Sengaja berarti
juga adanya kehendak yang disadari yang ditinjukan untuk melakukan kejahatan tertentu.
Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu
dilakukan dengan sengaja, terkandung pengrtian menghendaki dan mengetahui atau
biasa disebut dengan willens en wetens. Yang
dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan
sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens
atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens
atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Dikaitkan dengan
teori kehendak yang dirumuskan oleh memori van toelicting Pidana pada umumnya hendaknya
dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang,
dengan dikehendaki dan diketahui.
Apabila unsur kehendak atau menghendaki dan
mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan
dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu
sulit untuk dibuktikan secara materiil maka pembuktian adanya unsur kesengajaan
dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan
keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar
hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut. Menurut teori kehendak, kesengajaan
adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam wet (perundang-undangan), sedangkan
menurut yang lain, kesengajaan adalah
kehendak untuk berbuat dengan mengetahi unsur-unsur yang diperlukan menurut
rumusan wet.[2]
Unsur
kesengajaan diatas ditambah pula dengan unsur yang disebut sebagai unsur
kelalaian atau kealpaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana
disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste shuld dan kealpaan disadari atau bewustu schuld. Dimana dalam unsur ini kurang berhati-hati.
Unsur culpa atau kelalaian , unsur
terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku
seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari
perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat
dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan
dilarang oleh undang-undang.
Kejahatan adalah
“ suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan
tertentu, sebagai perbuatan jahat.” Dengan demikian maka si pelaku disebut
sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia
memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang
memberikan penilaian itu. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang
dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian
dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang
berbeda satu dengan yang lain.
Jadi apa yang
disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai
suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima suatu itu
merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan
pendapat. R.oesilo yang dikutip oleh Syafrudin
Husein membedakan pengertian secara juridis dan pengertian kejahatan
secara sosiologis.
Ditinjau dari
segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang
bertentangan dengan Undang-Undang. Ditinjau dari segi sosiologis , maka yang
bermaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga
sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan , ketentraman
dan ketertiban.
Berdasarkan
adanya latar belakang di atas maka dilakukan penelitian dengan judul : “Analisa
Hukum Terhadap Tindak Pidana Atas Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia Ditinjau
Dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Hukum Fidusia.”
B.
Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah
dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana
ketentuan hukum terhadap pelarangan pengalihan obyek jaminan fidusia
ditinjau dari Undang-Undang No. 42 Tahun
1999 Tentang Hukum Fidusia?
b. Bagaimana
Unsur-Unsur dari tindak pidana terhadap objek jaminan fidusia?
c. Bagaimana
akibat hukum terhadap pengalihan obyek jaminan fidusia?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk
mengetahui ketetentuan hukum pidana terhadap pengalihan obyek jaminan fidusia
ditinjau dari Undang-Undang No. 42 tahun 1999
2. Bagaimana
Unsur-Unsur dari tindak pidana terhadap objek jaminan fidusia?
3. Bagaimana
akibat hukum terhadap pengalihan obyek fidusia?
D.
Manfaat
Penelitian
Adapun faedah dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. secara
teoritis akan memberikan sumbagih bagi ilmu pengetahuan mengenai pengalihan
obyek fidusia.
b. Secara
praktis dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan
perbuatan dengan sengaja tidak memberikan informasi publik
E.
Keaslian
Penulisan
Judul
penulis pilih adalah “ANALISA HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ATAS PENGALIHAN
OBYEK JAMINAN FIDUSIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG
HUKUM FIDUSIA”,yang diajukan dalam rangka memenuhi syart untuk memperoleh gelar
“Sarjana Hukum”. Judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Graha
Kirana Medan. Penulisan ini bedasarkan referensi buku-buku,media cetak, dan
elektronik. Oleh karena itu penulisan ini merupakan sebuah karya asli sehingga
tulisan ini dapat di pertanggung jawabkan.
F.
Metode
Penelitian
Metode
Penelitian yang dilakukan meliputi:
1. Sifat/Materi
penelitian
Penelitian
ini bersifat yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian
yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselediki dengan menggambarkan
dan menyusun mengenai sistematis dalam memecahkan permasalahan yang terdapat
pada pengalihan obyek jaminan fidusia .
2. Sumber
Data
Sumber
data dalam ini berasal dari ini didapatkan data sekunder yang meliputi :
a. Bahan
hukum primer yaitu peraturan perUndang-Undangan, seperti Undang-Undang No. 42
tahun 1999 tentang fidusia, Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dan KUHPerdata dan
KUHP.
b. Bahan
hukum sekunder berupa buku bacaan yang berkaitan dengan penelitian
c. Bahan
hukum tertier berupa kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia
3. Alat
Pengumpul Data
Alat
pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian yang penulis lakukan adalah
melalui studi dokumen (library research).
4. Analisis
Data
Permasalahan
yang diajukan dalam penelitian ini akan dibahas dengan cara menguraikan
kalimat, sehingga analisis yang digunakan adalah analisis kualitif.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan
Tindak Pidana
Tindak
pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normative). Van
Hammel merumuskan straafbaar feit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.[3] Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan
secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan
seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan dalam kriminologis adalah (perbuatan manusia
yang memperkosa/menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkret).
Syarat
untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia)
yang memenuhi delik dalam Undang-Undang. Ini merupakan konsekuensi logis dari
asas legalitas sebagai prinsip kepastian.
Perkataan
“feit”itu sendiri di dalam bahasa
belanda beartikan sebagian dari suatu penyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar feit berarti dapat dihukum,hinnga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai “sebahagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum”, yang dapat dihukum itu sebernya adalah manusia
sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.
Menurut
pompe,”strafbaar feit”secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanngaran
norma (ganguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terjamin
kepentingan hukum”, [4]
sebagai contoh telah dikemukakan oleh pompe suatu pelanggaran norma seperti
yang telah dirumuskan didalam pasal 338 Kitab Undang-Undang hukum pidana .
Professor
van hattum berpendapat bahwa suatu tindakan itu dapat dipisahkan dari orang
yang telah melakukan tindakan tersebut. Perkataan “eliptis”adalah suatu kata sifat yang berasal dari kata dasar,di
dalam bahasa belanda yang menurut van de woestijne mepunyai pengertian sebagai
“perbuatan menhilangkan sebagian dari suatu kalimat yang dianngap tidak perlu
untuk mendapatkan suatu pengertian yang setepat-tepatnya.[5]
Simons
memberikan pandangan tentang “strafbaar feit” sebagai suatu “staafbaar feit”
adalah kelakuan (handeling) yang
diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan
kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.[6]
Ini
dinyatakan dalam syarat-syarat pokok dari suatu dalil adalah :
a. Dipenuhinya
semua unsur dari dalil seperti yang terdapat dalam rumusan delik;
b. Dapat
dipertanggungjawabkan oleh seorang pelaku atas perbuatanya;
c. Tindakan
dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja atau pun dengan tidak
sengaja
d. Pelaku
tersebut dapat dihukum
Didalam beberapa
rumusan delik kita dapat menjumpai disebutnya beberapa syarat-syarat,tertentu
yaitu :
a. Bahwa
cara melakukan suatu tindak pidana atau sarana yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu;
b. Bahwa
subjek maupun objek dari suatu tidak pidana itu haruslah mempunyai sifat-sifat
tertentu;
c. Bahwa
waktu dan tempat dilakukannya suatu tindak pidana haruslah sesuai dengan syarat
– syarat tertentu.
Van der hoeven tidak setuju apabila
dikatakan “strafbaar feit”,itu harus
diterjemahkan dengan perkataan “perbuatan yang dapat dihukum”, dan dari pasal
10 kitab Undang-Undang hukum pidana dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa yang
dapat dihukum itu adalah hanyalah manusia dan bukan perbuatannya.[7]
Kejahatan atau
tindak kriminil adalah merupakan salah satu perbuatan menyimpang yang selalu
ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.[8] Termasuk dalam pengertian perbuata ialah
perbuatan nyata atau sikap tidak saja dari mereka yang dapat dikualifisir
sebagai pelaku¹¹.
Mr.
Satochid Kartanegara yang dikutip oleh PAF lamitang telah menyatakan pendapat
dari Van der Hoeven tersebut di atas, dan sebagian terjemahan dari strafbarr feit,tersebut, almarhum telah menngunakan perkataan tindak pidana”[9].
B. Pidana
dan jenis-jenis Pidana
Mengenai stesell pidana Indonesia pada
dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari pasal 43,yang kemudian
diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan,yaitu:
1. Reglemen
penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan (LN 1948 No. 77)
2. Ordonasi
pelepasan beryarat (Stb 1917 No. 749)
3. Reglemen
pendidikan paksaan (Stb 1917 No. 741).
4. Undang-undang
No.20 tahun 1946 tentang Pidana Tutupan.
KUHP sebagai
induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana,
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana
dibedahkan menjadi 2 kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan.
Pidana
pokok terdiri dari :
1. Pidana
mati
2. Pidana
penjara
Pidana
penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan
sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pengunaan pidana penjara
sebagai sarana untuk menghukum para pelaku dimulai pada akhir abad ke-18 yang
bersumber pada faham individualisme dan gerakan perikemanusiaan.[10]
3. Pidana
kurungan .
4. Pidana
denda
5. Pidana
tutupan
Pidana
tambahan terdiri dari:
1.
Pidana pencabutaan
hak-hak tertentu.
2.
Pidana perampasan
barang-barang tertentu
3.
Pidana pengumumuman
Keputusan Hakim.
Berdasarkan pasal 69 KUHP,
untuk pidana pokok berat ringanya bagi pidana yabg tidak sejenis adalah
didasarkan pada urut-urutanya dalam rumusan
pasal 10 tersebut, stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP,
mengelompokan jenis-jenis pidana kedalam pidana poko dan pidana tambahan.
Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana
tambahan adalah:
1. Penjatuhan
salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan
penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Apabila dalam
persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut
Hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Hakim harus menjatuhkan
satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khususnya yang
diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis
pidana pokok, sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianngap
terbukti adalah keharusan,artinya imperatif.
Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap
rumusan tindak pidana, dimana dalam rumusan masalah kejahatan maupun pelanggaran
hanya ada 2 kemungkinan,ialah (a) pertama diacamkan satu jenis pidana pokok
saja(artinya Hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok lainya), (b) kedua,tindak
pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, dimana sifatnya
adalah alternatif, artinya Hakim harus memilih salah satu saja (misalnya: Pasal
362,Pasal 364 dan Pasal 340 dan lain-lain). Sedangkan untuk menjatuhkan jenis
pidana tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif).
Apabila menurut penilaian Hakim, bagi kejahatan atau
pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana ytambahan (misalnya
pasal 242 ayat 4 yang diancam dengan pidana tambahan: pencabutan hak-hak
tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 35 KUHP) yang didakwakan Jaksa.
Penuntut umum telah terbukti, maka Hakim boleh menjatuhkan dan boleh juga tidak
menjatuhkan pidana tambahan tersebut.
Walaupun prinsip dasarnya penjatuhan jeni pidana tambahan itu
bersifa fakultatif, akan tetapi ada juga beberapa perkecualinya, dimana
penjatuhan pidana tambahan menjadi bersifat imperative,misalnya terdapat pada
Pasal 250 bis, 261 dan 267.
2. Penjatuhan
jenis pidana pokok tidak harus dengan demekian menjatuhkan jenis pidana
tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak
boleh tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Sesuai dengan namanya (pidana tambahan),maka
penjatuahan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri lepas dari pidana
pokok, melainkan hanya dapat dijaTuhkan oleh Hakim,apabila dalam suatu
putusanya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan
yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana
tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana
pokok,melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok.
Sedangkan menjatuhkan jenis pidana pokok
adalah dapat berdiri sendiri, tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana
tambahan. Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat demekian, ada juga
perkecualianya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak
bersama jenis pokok,akan tetapi bersama tindakan (maan elegen) seperti pada Pasal 39 ayat(3).
3. Jenis
pidana pokok yang dijatuhkan,bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht
van
gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie).
Kecuali
apabila pidana yang dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat
(Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar.
Berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan, misalnya pidana pencabutan
hak-hak tertentu sudah berlaku sejak putusan Hakim telah mempunyai kekuatan
hukum tetap seperti yang diatur pasal 28 ayat (2). Oleh karena itu berjalannya/dijalannya putusan antara
jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38
ayat (2) tidak sama
Dapat
disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pidana
itu pada hakikatnya merupakan merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan
2. Pidana
itu diberikan dengan sengaja oleh orang
atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang.
3. Pidana
itu dikenakan kepada seorang atau badan hukum (koporasi) yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.
Perwujudan sauatu sanksi pidana dapat
dilihat sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui tiga tahap:
1. Tahap
penetapan pidana oleh pembuat undang-undang
2. Tahap
pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan
3. Tahap
pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana[11].
Sifat-sifat jenis pidana tambahan sebagaimana telah
disebutkan di atas, ada lagi sifat jenis pidana pokok yang merupakan prinsip
dasar pidana pokok, ialah tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut
pertimbangan pembentuk Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan dalam Memorie van Teolichting (MvT) Wvs
Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat
dibenarkan, karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan
yang berbeda dengan jenis pidana denda.
C. Tinjauan
lembaga jaminan
Jaminan merupakan tanggungan yang
diberijkan oleh debitor atau pihak ketiga kepada kreditor mempunyai satu
kepentingan bahwa debitor harus memilih kewajiban dalam suatu perikatan.
Selain jaminan yang ditujuk
undang-undang memungkinkan para pihak untuk melakukan perjanjian penjaminan
yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau pelaksanaan kewajiban debitor
kepada kreditor. Contohnya adalah hipotek, fidusia, gadai, perjanjian
penanggungan, perjanjian garansi dan lain-lain[12].
Pengaturan Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 tentang Perbankan sebenarnya tidak menyebutkan adanya diberikan kepada
debitor, namun oleh karena pemberian kredit yang akan diberikan kepada debitor,
namun oleh karena pemberian kredit merupakan hal yang mengandung risiko, maka
dalam kenyataanya tidak akan ada bank yang mau memberikan pinjaman tanpa
jaminan ini. Jaminan didefenisiskan sebagai: ” tanggungan yang diberikan oleh
debitor atau pihak ketiga kepada kreditor karena pihak kreditor mempunyai suatu
kepentingan bahawa debitor harus memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan”.[13]
Istilah hukum jaminan merupakan
terjemhan dari security of law,
zekerheidstelling, atau zekerheidsrehten.[14]
Istilah hukum jaminan meliputi jaminan kebendaan mampu perorangan. Dari dua
pendapat perumusan pengertian jaminan di atas dapat disimpulkan inti dari hukum
jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi
jaminan atau debitor dengan penerima jaminan atau debitor dengan penerima
jaminan, Jaminan kebendaan meliputi utang-piutang yang disewakan, gadai, dan
hipotek. Sedangakan jaminan perorangan, yaitu penanggungan utang (borgtocht).
Sehubungan dengan pengertian,beberapa
pakar merumuskan pengertia umum mengenai jaminan hukum jaminan. Pengertian itu
anatara lain menurut Satrio yang dikutip Subekti, hukum jaminan adalah
peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan utang-piutang seorang kreditur
terhadap seorang debitur. Intinya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur
tentang jaminan piutang seseorang[15].
Di samping itu, Salim HS yang dikutip Vanplur juga memberikan perumusan tentang
hukum jaminan, yaitu Keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan
antara pemberi jaminan dan penerima jaminan kaitannya dengan pembebanan jaminan
untuk mendapatkan fasilitas kredit.[16]
Keputusan
seminar Hukum jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum nasional
Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum UGM, tanggal 9-11 Oktober
1978, di Yogyakarta, atau kreditur sebagai: “Pembebanan suatu hutang tertentu
atau kredit dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu).”[17]
Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur
yang terkandung di dalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut.
1. Serangkain
ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis
dan ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk
yuripusensi, baik itu berupa peraturan yang derivative (turunan). Adapun
ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum yang timbul
dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan.
2. Ketentuan
hukum jamian tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan
(debitor) dan penerima (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang
berutang dalam suatu kebendaan tertentu
sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur). Adanya jaminan yang
diserahkan oleh debitor kepada kreditur. Pemberian dilakukan oleh pemberi
jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
3. Sumber
dan Sistem Hukum Jaminan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[18]
sumber hukum
adalah tempat dimana ditemukan hukum. Dalam hal ini, hukum jaminan bersumber
dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum
perdata material yang diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordasi.
Ketentuan hukum
jaminan dapat dijumpai dalam buku II kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
mengatur mengenai lembaga dan ketetuan hak jaminan dimulai dari Titel
Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, pasal 1131 sampai dengan
Pasal 1232. Dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur
mengenai piutang-piutang yang diistemewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci
materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata tersebut, sebagai berikut:
a. Bab
XIX: Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal
1149); Bagian kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistemewakan Pada Umumunya
(Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138);
b. Bagian
Kedua tenatang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda Tertentu (1139 samapai
dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak
Bergerak Pada Umumnya(Pasal 1149);
c. Bab
XX: Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160, Pasal 1161 dihapuskan).
d. Bab
XXI: Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1162 dengan Pasal 1178);
Bagian kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya
(Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga’ tentang Pencoretan
Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat
Hipotek (1209 sampai dengan pasal 1220).
Tangggung jawab Pegawai-Pegawai yang
ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register oleh
Masyrakat (Pasal 1221 sampai dengan 1232). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak tanah besrta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan
ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam pasal 1162 sampai dengan 1232 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Sementara itu pembebanan hipotek atas
benda benda tidak bergerak lainnya selain hak atas tanah besrta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, hipotek kapal laut misalnya, tetap mengunakan
lembaga dan ketetuan-ketentuan hipotek sebagaiman diatur dalam Pasal 1162
sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaan,
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Diatur pula mengenai jaminan hak
perseorangan, yaitu penangugan utang (borghtocht) dan perikatan
tanggungan-menanggung. Jaminan hak perseorangan ini diatur “,yaitu pada Titel
Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820
sampai dengan Pasal 1850.
Asas pemberian jaminan jika ditinjaudari
sifatnya terdiri atas:
1.
Jaminan yang bersifat
umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitor pada setiap kreditor, hak-hak
tagihan mana tidak mempunyai hak saling mendahului(konkuren) antara kreditor yang satu dengan kreditor lainnya.
2.
Jaminan yang bersifat
khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor,hak-hak
tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga berkedudukan sebagai kreditor privelege (hak preverennt).
Keberadaan jaminan kredit merupakan
persyaratan guna memeperkecil risiko bank dalam menyalurkan kredit. Pada prinsipnya, sebenarnya jaminan bukanlah
merupakan suatukewajiban bagi debitor, sebab jenis usaha dan peluang bisnis
yang dimiliki pada dasarnya merupakan jaminan pada bank. Hanya saja jika bank
memberikan kredit pada debitor tanpa adanya jaminan, maka dapat dipastikan
bahwa bank akan mengalami risiko yang sangat besar. Apalagi jika usaha yang
dibina mengalami kegagalan, sangat berpengaruh kepada peluang bank atas
pengembalian dana yang dipinjamkan kepada debitor.
Salah satu hal yang mesti diperhatikan
oleh kredidur dalam memberikan kredit misalnya apakah kelak nanti eksekusi
jaminan hutang dapat berjalan lancer. Hal ini mesti disadari saat peluncuran
kredit itu sendiri. Memperlancar kepetingan nasabah terhadap bank, jaminan ini
dapat dijadikan salah satu alat. Karenanya jaminan tersebut haruslah diadakan
pengikatannya dan jaminan tersebut haruslah diadakan pengikatannya dan jaminan
tersebut jika perlu harus dapat dieksekusi.²²
Berdasarkan pentingnya jaminan dalam
penggikatan kredit, maka nilai dan legalitas keyakinan merupakan jaminan yang
dipegang bank harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima
nasabah. Barang-barang yang dikuasai atau diikat secara yuridis dengan
perjanjian kredit, baik di bawah tangan maupun dengan akte notaries.
Kegunaan jaminan adalah:
1.
Memberikan hak dan
kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasaan barang-barang jaminan
tersebut bila nasabah cidera janji, tidak membayar kembali hutangnya pada waktu
yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2.
Menjamin agar nasabah
berperan-serta dalam transaksi pembiayaan usahanya sehinnga kemunkinan untuk
menggalkan usahanya atau proyeksi dengan merugikan diri sendiri atau
perusahanya dapat dicegah.
3.
Memberi dorongan kepada
debitor untuk memenuhi perjanjian kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali
sesuai syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilanggan. Hak
miliknya atas barang yang dijaminnya kepada bank.
D. Tinjauan
Jaminan Fidusia
Lembaga jaminan yang telah lama tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat yang telah lama diakui, misalnya lembaga
jaminan fidusia, gadai, (pand), hak tanggungan dan lain-lain. Penerapan lembaga
jaminan ini didasarkan atas pembedaan jenis-jenis benda yang akan dijaminkan
yaitu benda bergerak dan benda tak bergerak. Dasar hukum dari ketentuan
tersebut terdapat dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Sedang Pasal 1150
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang gadai dan Undang-Undang Nomor 4
Tahun1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUTH).[19]
Lembaga fidusia muncul dikarenakan
ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang lembagai gadai (pand) mengandung
banyak kekurangan,tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapatr
mengikuti perkembangan masyarakat. Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang
menjadi objek jaminan fidusia seperti tersebut di atas dilakukan dengan cara
constitutum possessorium (verklaring van houderschap),
artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melajutkan
penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya
akan menguasai benda dikmasud untuk kepetingan penerima jaminan
fidusia(penerima fidusia)[20].
Fidusia dianggap sebagai jaminan yang
lebih cocok bagi bank ataupun nasabahnya untuk barang bergerak, karena debitor
tidak perlu repot-repot menyediakan tempat menyimpan dan merawat barangnya.
Pada pengikatan kredit dengan jaminan fidusia,barang tidak diserahkan pada
kreditor tetapi masih dalam kekuasan debitor,dibayar lunas oleh debitor, maka
hak milik barang berpindah untuk sementara waktu kepada kreditor.
Perjanjian fidusia dilakukan dalam
bentuk tertulis atau biasanya dituangkan dalam akta notaries. Hal ini dilakukan
dengan maksud untuk melindungi dan memudahkan bagi kreditor dalam membuktikan
bahwa telah ada suatu penyerahan hak kepemilikan terhadap debitor. Perjanjian
penyerahan hak milik secara fidusia atau yang sering kita sebut dengan akta
jaminan fidusia yang memuat janji-janji khusus antara debitor dan kreditor.
Dalam akta tersebut berisi tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para
pihak (kreditor dan debitor).[21]
Kemudian dengan bantuan notaries, benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
akan didaftrarkan atas penerima fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang
berada dalam lingkungan tugas Departemen Hukum dan Hak Azasi.
Debitor mempunyai kewajiban untuk
melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan barang jaminan yang bersangkutan.
Laporan tersebut dilaksanakan guna untuk mencegah hal-hal yang merugikan
kreditor. Hal ini mengingat bahwa barang jaminan masih berda di tangan debitor.
Begitu juga sebaliknya, kreditor akan dibatasi kewenangannya dalam penguasaan
barang yang bersangkutan.
Fidusia merupakan pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan ketentuan benda tersebut tetap
dalam penguasaan si pemilik. Undang-Undang yang telah dirumuskan tentang
fidusia ini adalah Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan pengertian dari fidusia
yaitu: “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan bahwa
yang hak kepemilikannya tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.
Jaminan fidusia ini mengatur ketentuan
bagi seseorang atau badan hukum untuk menjaminkan barangnya tanpa menyerahkan
fisiknya sama sekali. Sementara peraturan yang ada hanya memuat ketentuan
adanya penyerahan benda pada gadai, atau hak tanggungan yang hanya menjadikan
benda tidak bergerak sebagai obyek.
E. Obyek
Jaminan Fidusia
Pada surat ederan Bank Indonesia No.
4/428/UUPK/PK tanggal 16 maret 1972 yang menyebutkan bahwa untuk benda-benda
bergerak dipakai jaminan fidusia atau gadai, dengan demekian jelaslah bahwa
yang diterima sebagai jaminan dalam fidusia adalah benda-benda yang bergerak.
Namun demekian terdapat perbedaan antara benda jaminan fidusia dengan benda
jaminan gadai. Benda gadai berada dalam kekuasaan debitor, sedang pada
perjanjian fidusia, benda jaminan tetap dalam kekuasaan kreditor.[22]
Undang-Undang Jaminan Fidusia
menjelaskan beberapa benda yang dapat dijadikan sebagai obyek jaminan fidusia,
yang akan tersebar dalam beberapa pasal Ketentuan tersebut antara lain terdapat
Pasal 1 angka (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda obyek jaminan
fidusia tersebut adalah:
13.
Benda tersebut harus
dapat memilih dan dialihkan secara hukum
14.
Dapat atas benda
berwujud.
15.
Dapat juga atas benda
tidak berwujud,termasuk piutang
16.
Dapat bergerak
17.
Benda tidak bergerak
yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan
18.
Bendfa tidak bergerak
yang tidak dapat dikaitkan dengan hipotik
19.
Baik atas benda yang
sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal ini
benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan
fidusia tersendiri.
20.
Dapat atas suatu satuan
atau jenis benda
21.
Dapat juga atas lebih
dari sutu jenis atau satuan benda
22.
Termasuk hasil benda
yang telah menjadi obyek fidusia
23.
Termasuk juga hasil
dari benda yang telah menjadi obyek jaminan fidusia.
24.
Benda persediaan
(inventory, stock perdangangan) dapat juga menjadi obyek fidusia
Obyek benda jaminan fidusia adalah benda
apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda ini dapat
berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar ataupun tidak terdaftar
bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat
dibebani dengan hak tanggungan.[23]
Praktiknya barang-barang yang diserahkan
sebagai jaminan fidusia adalah benda-benda/barang-barang yang secara sosial
ekonomi dapat menunjang kelancaran jalannya suatu usaha/perusahaan.
Barang-barang tersebut seperti kendaraan bermotor, stok barang dagangan, inventaris
dan lain sebaliknya. Dan hal ini tidak dapat berakibat terhambatnya kegiatan
usaha karena penyerahan barang jaminan dalam fidusia dilakukan secara constitutum possessorium, artinya barang yang diserahkan sebagai jaminan kredit
tetap dalam berada dalam kekuasaan pihak yang menjamin/debitor. Karena yang
diserahkan adalah hak miliknya, maka penguasaan/penggunaan barang jaminan
tersebut oleh debitor hanyalah dalam kepastianya sebagai peminjam pakai.[24]
Sebagaimana Lembaga jaminan, seperti
halnya dengan hipotik dan creditverband
dan gadai, fidusia pun merupakan perjanjian ascessoir,
sehingga sebelum diadakan perjanjian fidusia, terlebih dahulu harus ada
perjanjian pokoknya, dalam hal ini adalah Perjanjian Kredit Pengakuan Hutang.
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia:
(1)
Dalam hal basil
eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan
kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
(2)
Apabila basil eksekusi tidak mencukupi untuk
pelunasan utang debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Model-model eksekusi Jaminan Fidusia
menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:
a. Secara
fiat eksekusi (dengan memakai title eksekutorial), yakni lewat suatu penetapan
pengadilan.
Fiat eksekusi merupakan
ekskusi yang dilaksanakan oleh lelang setelah ada persetujuan dari Ketua
Pengadilan Negeri berupa penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat.
b. Secara
parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) di
depan pelelangan umum.
c. Dijual
dibawah tanggan oleh pihak kreditor sendiri.
F. Pelanggaran-Pelanggaran
Dalam Perjanjian Fidusia
Perjanjian kredit yang dilakukan oleh
perbankan, pihak bank harus bertindak hati-hati dengan memperhatikan asas-asas
perkreditan yang sehat yaitu dengan memperhatikan kemampuan dan kesanggupan
debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang
diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum mengucurkan
kreditnya pihak bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha pihak calon nasabah.
Pengertian fidusia sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia adalah Pengalihan Hak kepemilikan suatu benda atas dasar
kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut
tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berdasarkan defenisi tersebut, ada 3 (tiga)
ciri fidusia yaitu:
1. Pengalihan
hak kepemilikan suatu benda;
2. Atas
dasar kepercayaan;
3. Benda
itu tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Setiap benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Adapun pihak
penerima fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Kantor Pendaftaran
Fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal
yang sama dengan tanggal penerima permohonan pendaftaran permohonan pendaftaran
jaminan fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia pada Buku Daftar Fidusia
adalah dianggap sebagaimana tanggal lahirnya Jaminan fidusia.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam implementasinya masih
terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima
fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia). Pelanggaran-Pelanggaran
hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh
pihak debitur (pemberi fidusia). Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan
oleh pihak kreditur adalah sebagai berikut:[25]
1. Kreditur
tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia
Pelangaran ini biasanya dilakukan oleh
Bnak Perkreditan Rakyat (BPR) maupun bank umum untuk nilai pinjaman kecil.[26]
Dalam hal ini pihak bank sudah siap menanggung resiko jika terjadi kredit
macet. Lembaga Pembiayaan (finance)
juga banyak yang tidak mendaftarkan jaminan fidusianya dengan alasan demi
efisiensi dalam menghadapi persaingan dengan lembaga pembiayaan lainya.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sudah mengatur bahwa benda yang dibebani
dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tentang Jaminan
Fidusia tidak berlaaku, dengan kata lain untuk berlakunya, ketentuan-ketentuan
dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda
jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak mendaftarkan obyek jaminan
fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati
keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan
fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan.
Konsekuensi lain dengan tidak
didaftarkannya suatu obyek jaminan fidusia adalah apabila debitur wanprestasi
maka kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh
gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPPerdata). Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap
obyek jaminan fidusia.
2. Pendaftaran
fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.
Pelanggaran ini masih banyak dilakukan
oleh lembaga (Finance) dengan alasan
sebagaimana telah dikemukakan diatas. Pada saat debitur mulai wanprestasi,
perusahaan finance baru mendaftarkan obyek
jaminan fidusia dalam rangka untuk memenuhi persyaratan untuk melakukan
eksekusi terhadapa obyek jaminan fidusia. Pemicu tindakan lembaga finance ini dikarenakan dalam
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak diatur ketentuan mengenai daluarsa
pendaftaran jamnian fidusia sehingga Kantor Pendaftaran Fidusia tidak punya
alasan untuk menolak pendaftaran fidusia yang diperjanjian kreditnya sudah
ditandatangani dalam waktu yang lama (biasanya 2-3 tahun sebelum didaftarkan).
Walaupun tidak ada aturan mengenai
daluarsa pendaftaran jamina fidusia, namun dalam Pasal 14 sub 3 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah diatur bahwa jaminan fidusia
lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia
sebagaimana tercatat dalam Buku Daftar Fidusia. Oleh sebab itu, apabila ada
perjanjian kredit yang dibuat beberapa tahun yang lalu namun pendaftaran
jaminan fidusianya baru dilakukan belakangan maka berlakunya jaminan fidusia
itu adalah pada saat didaftarkan bukan pada saat perjanjian kredit
ditandatangani atau pada saat penandatanganan akta notariil. Konsekwensinya
adalah peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi sebelum pendaftaran jaminan
fidusia tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan
Fidusia.[27]
3.
Perjanjian yang diikat
dengan jaminan fidusia namun obyeknya bukan merupakan obyek cerminan fidusia,
seperti misalnya hak sewa, hak pakai maupun sewa beli (leasing).
Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan
kreditur terhadap aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan
obyek sewa-menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan
sehingga bukan merupakan obyek jaminan
fidusia sehingga tidak dapat didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Karena bukan merupakan obyek jaminan fidusia, maka apabila debitur wanprestasi
maka kreditur tidak mempunyai hak preferen dan tidak dapat melakukan eksekusi
terhadap obyek jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Jaminan
Fidusia.
4. Kreditur
melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang tidak sesuai ketentuan
pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
Apabila debitur wanprestasi dengan tidak
melunasi Hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap
obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia guna
pelunasan hutang tersebut. Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia diatur mengenai cara melakukan eksekusi yaitu:
1.
Pelaksanaan title eksekutorial
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
Dalam
sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BEDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksetorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.
Penjualan benda obyek
jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan
umum,
3.
Penjualan di bawah
tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima
fidusia untuk memperoleh harga tertinggi yang mengutungkan kedua belah pihak.
Dalam hal eksekusi dilakukan dengan
penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (tahun)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang
berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di
daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar oleh lembaga
pembiayaan (finance) dalam melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan.
Biasanya Finance akan menguanakan
jasa debt collector langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek
jaminan dan kemudian oleh finance
akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan
tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau masih ada kekurangan
dibandingkan dengan hutang debitur. Terhadap eksekusi yang bertentangan dengan
ketetentuan Pasal 29 Undang-Umdang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berakibat
eksekusi tidak sah sehingga pihak pemberi fidusia (debitur) dapat mengugat
untuk pembatalan.
Selain dilakukan oleh pihak kreditur,
pelanggaran hukum terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia juga dapat dilakukan oleh pihak debitur. Pelanggaran- pelanggaran
yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut:
1. Debitur
menjamin lagi obyek jaminan fidusia (Fidusia ulang)
Undang-Undang
tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana
diatur dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan
pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek
jaminannya tetap dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena
atas obyek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikan telah”beralih” dari pemberi
fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur) sehingga tidak mungkin
lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi obyek
jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia maka hak yang didahulukan
sebagaimana dikmasud dalam Pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu
mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia(Pasal 28).
2. Pemberi
fidusia (debitur) mengadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan
fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Tindakan
ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari
perusahaan finance untuk pembelian
kendaraan bermotor, dimana hutangnya belum lunas tapi kendarannya telah
digadaikan secara di bawah tangan kepada pihak ketiga.
Terhadap
perbuatanya tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikaan
atau mengalihkan obyek jamiann fidusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
3. Debitur
mengubah dan atau megganti isi benda yang menjadi obyek jaminan sehingga
kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya mengganti onderdil kendaraan
bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
Perbuatan debitur tersebut tidak dapat
dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya perjanjian kredit dan perjanjian
jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan fidusia “beralih” dari pemberi fidusia (debitur)
kepada penerima fidusia(kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) kepada
penerima fidusia(kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya “dianggap sebagai penyewa” yang
mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan memakai obyek jaminan yang
diuasainya dengan baik.
Unsur- unsur perbuatan pidana sebagai
berikut:[28]
a. Kelakuan
dan akibat (perbuatan)
b. Hal
ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan
tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur
melawan hukum yang subyektif
e. Unsur
melawan hukum yang obyektif
Namun demekian dengan tidak adanya
keseragaman pandangan dan defenisi yang kurang lengkap menurut pandangan
dualistik tentang uraian delik, maka unsur- unsur suatu delik, maka unsur–unsur
suatu delik pada umumnya sebagai berikut:
1.
Perbuatan aktif atau
pasif
2.
Akibat(hanya pada delik
materil)
3.
Melawan hukum formil
dan materil
4.
Keadaan menyusul atau
kedaan tambahan
5.
Keadaan yang secara
obyektif yang memperbaiki pidana
6.
Tidak ada dasar
pembenar dan dasar pemaaf
Adapun penjelasan unsur-unsur
adalah sebagai berikut:
1.
Perbuatan aktif dan
pasif
Suatu
perbuatan yang dikatakan perbuatan aktif dan pasif apabila perbuatan itu
dilakukan tanpa disadari walaupun
dirangkum oleh suatu aturan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis belumlah
merupakan straf baar hadling (perbuatan
pidana) jika tidak dipandang suatu perbuatan tercela dan buruk menurut manusia
umumnya.
Andi
Zainal Abidin Farid berpendapat sebagai berikut; “jadi Jadi Suatu perbuatan
aktif atau pasif barulah dikatakan
perbuatan melawan hukum apabila bertentangan dengan undang-undang dan juga
bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat dengan kata lain bertentangan
dengan hukum yang tertulis dan tidak tertulis.”
2.
Akibat (hanya pada
delik materil)
Akibat hanya pada delik materil adalah
akibat tertentu di dalam delik sehingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sendiri tidak mudah memberikan kaidah atau pentunjuk tentang cara penentuan
akibat pada pembuat delik. Andi Zainal Abidin Farid menyatakan sebagai berikut:
Hanya menentukan dalam beberapa pasal, bahwa untuk delik –delik tersebut diperlukan
adanya suatu akibat tertentu guna dapat menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya.[29]
3.
Melawan Hukum Formil
dan Materil
Melawan hukum formal adalah merupakan
unsur dari pada hukum positif tertentu saja. Sehingga ia merupakan unsur tindak
pidana dan materil itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum
materil adalah melawan hukum dalam arti luas dimana sebagai suatu unsur yang
tidak hanya melawan hukum tertulis saja. Suatu tindakan pidana pada umumnya
dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu
ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum
yang tidak tertulis dan bersifat umum.
Secara formil, maka teranglah bahwa
perbuatan yang dilarang oleh undang – undang atau perbuatan yang melanggar perintah
di dalam Undang-Undang, karena bertentangan apa yang dilarang oleh atau yang
diperintahkan dalam undang-undang.
4.
Keadaan yang menyusul
atau keadaan tambahan
Di katakan yang menyusul apabila
perbuatan itu merupakan pemufakatan jahat dan terlaksanaan adanya pelaporan
pada yang berwajib. Terkadang dalam rumusan perbuatan pidana tertentu dijumpai
adanya ikhwal tambahan yang tertentu pula. Misalnya dalam Pasal 164, Pasal 165
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah kewajiban untuk melaporkan kepada pihak
berwajib. Jika mengetahui terjadinya suatu kejahatan, kalau kejahatan
betul-betul terjadi, maka kejahatan itu merupakan unsur tambahan.
5.
Pasal 351 ayat(1) dan
(2) Pasal 352(1) dan (2), dan Pasal 354(2) KUHP. Keadaan mana yang tidak
dikehendaki tetapi secara obyektif
Secara obyektif memperat pidana adalah
terletak pada keadaan obyektif pembuat delik. Apabila penganiayaan biasa ini
berakibat luka berat atau mati. Tentang luka berat dilihat pada Pasal 90 KUHP
6.
Tidak adanya dasar
pembenar dan dasar pemaaf
Alasan
pembenar, dimana sifat melawan hukum perbuatan hapus danm tidak terbukti,
sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh Hakim ;
a. Alasan
pemaaf yaitu perbuatan pidana sudah terbukti unsur – unsur semuanya, namun
unsur kesalahan tidak ada pada pembuat dalam hal ini sebaiknya terdakwa
dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
BAB
III
HASIL
PENELITIAN DAN BAB PEMBAHASAN
A.
Ketetentuan
Hukum Terhadap Pelangaran Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia Ditinjau Dari
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Ada beberapa perbedaan yang lain antara
perjanjian dan perjanjian hutang piutang, yaitu terletak pada sifat perjanjian
tersebut. Perjanjian kredit bersifat konsensuil sedang perjanjian hutang
piutang bersifat riil. Riil berarti: “bahwa perjanjian baru ada setelah uang
yang dipinjamkan dalam perjanjian kredit diserahkan secara nyata kepada
debitor”.[30]
Kejahatan terhadap penjaminan fidusia
dapat dilakukan bentuk penggelapan atau pencurian. Ada bebrapa perbedaan antara
pengelapan dengan pencurian.
Perbedaan itu adalah:
A. Tentang
perbuatan materiilnya. Pada Pengelapan adalah perbuatan memiliki, pada
pencurian adalah mengambil Pada pencurian ada unsur memiliki, yang berupa unsur
memiliki, yang berupa unsur subjektif. Pada pengelepan unsur memiliki adalah
unsur tingkah laku, berupa unsur objektif. Untuk selesainya pengelapan
disyaratkan pada selesai terwujudnya perbuatan memiliki, sedang pada pencurian
pada perbuatan mengambilnya, bukan pada unsur memiliki.
B. Tentang
beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak. Pada pencurian, benda
tersebut berada di tangan/kekuasaan petindak akibat dari perbuatan mengambil,
berarti benda tersebut berada dalam kekuasaannya karena suatu kejahatan (pencurian).
Tetapi pada pengelapan tidak, benda tersebut berada dalam kekuasaanya karena
perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum.
Pelangaran-pelangaran ini yang sering
dilakukan oleh pihak debitor biasanya diketahuii, apabila debitor tidak dapat
melaksanakan kewajibannya membayar cincin dalam kurun waktu tertentu, misal dua
bulan/tiga bulan menunggak cicilan. Meskipun biasanya apabila terlambat dari
batas tanggal jatuh tempo pembayaran cicilan biasanya pihak perusahaan akan
melakukan penagihan via telepon maupun oleh kolektor lapangan langsung ke rumah
debitor.
Perbuatan terdakwa dalam mengalihkan
objek jaminan fidusia tanpa izin merupakan tindakan melawan hukum. Suatu
perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar
undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan
perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan Pasal 50, Pasal
51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi:
a. Sifat
formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
b. Sifat
materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam
masyrakat.
Perbuatan
melawan hukum dapat dibedakan menjadi:
a. Funsi
negative yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang dapat
menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
b. Fungsi
positif yaitu mengakui bahwa suatu merupakan tindak pidana meskipun tidak
dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan
hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum
dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat dibuktikan. Jika unsur melawan
hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka hal itu haruslah
dibuktikan. Jika unsur melawan hukum dianggap memiliki fungsi negatif maka hal
itu tidak perlu dibultikan.[31]
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia
melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana diatur dalam Pasal 17.
Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditur
yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek jaminannya tetap
dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek
jaminan fidusia dikmasud hak kepemilikanya telah “beralih”dari pemberi fidusia(debitur) kepada penerima fidusia
(kreditur) sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila
atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian
fidusia maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 diberikan
kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkanya di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Tetapi pada tahap ini biasanya pihak
perusahaan belum melakukan tindakan apa-apa, hanya baru memberikan denda selama
waktu pembayaran melebihi batas jatuh tempo yang dihitung perhari dengan
perhitungan yang telah ditentukan berdasrkan dari jumlah cicilan.
Sedangkan bagi debitor yang telah
menuggak selama tiga bulan berturut-turut, maka pihak perusahaan, biasanya
mencatumkan klausula bahwa dengan persetujuan atau tanpa persetujuan debitor
berhak untuk mengambil secara paksa kendaraan yang menjadi jaminan, karena
berdasarkan perjanjijan sewa beli tindakan tersebut adalah hasil dari
kesepakatan bersama antara kreditor dan debitor.
Jaminan Fidusia wajib didaftarkan, dan
bilamana jaminan fidusia itu tidak didaftarkan maka benda itu bukan benda jaminan.
Benda jaminan hutang dan bukan benda jaminan fidusia. Sebagai jaminan hutang,
maka yang berlaku tentunya hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata.
Dan untuk mengambil barang tersebut dari
tangan debitor lali, maka harus melalui gugatan perdata. Dalam kenyataanya,
banyak Finance atau lembaga-lembaga
keuangan ketika mengadakan perjanjian hutang piutang (ala fidusia) sering
melengkapi perjanjian itu dengan Surat Kuasa Pengambilan barang jaminan. Hal
ini untuk mempermudah atau menghindari proses gugatan.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi
objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana
menyebutkan jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini
menyebutkan:
1.
Barang siapa dengan
maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
memaksa seorang dengan kekerasan atau orang lain secara melawan hukum, memaksa
seorang dengan kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau
supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan
pidana penjara paling lama Sembilan bulan.
2.
Ketentuan Pasal 365
ayat kedua(2),ketiga(3)dan keempat(4) berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor
dalam eksekusi melakuakan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak,
padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang
lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik
kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam kantor fidusia.
Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana
eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan
dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang
seimbang antara kreditor dan debitor.
Salah satu contoh terdapat pada Putusan
Mahkamah Agung Putusan No. 2120 K/Pid.Sus/2010. Dengan perjanjian Fidusia yang
telah didaftarkan sesuai dengan sertifikat Jaminan Fidusia Nomor W 10-7558 HT
04 .06 tahun 2008 (STD) tanggal 10 juli 2008. Bahwa berdasarkan perjanjian pembiayaan
konsumen tertanggal 27 Desember 2007 Nomor 013 1.01. 000 6728/08 dengan nilai
penjamin sebesar Rp.18.000.000,- ( delapan belas juta rupiah ) dan dalam
perjanjian tersebut telah disetujui 36 (tiga puluh enam) bulan /angsuran dan
berakhir pada tanggal 28 desember 2010 dengan angsuran Rp.500.000,- (lima ratus
ribu rupiah) tiap bulan dengan jatuh tempo tiap tanggal 28 bulam berikutnya.
Terdakwa selaku pemberi kuasa mulai
angsuran ketiga ( tanggal 28 Maret 2008 ) sudah tidak pernah mengansur sudah
sebelas kali angsuran terhitung mulai bulan April 2008 samapai bulan Januari
2009. Tanpa memberitahukan dan seijin pihak penerima Fidusia yaitu PT. SAF
sepeda motor merk Honda Revo warna biru No.Pol.AG 4427 KT Nosin HB62E-1268521,
Noka MHIHB62188K272070 telah dijual lepas kepada saksi Rumaji dengan harga
Rp4.000.000,- ( empat juta rupiah). Berikut STNKnya tanpa BPKB lewat saksi
Samidi. Perbuatan terdakwa diancam dan dipidana dalam pasal 23 ayat (2) Jo. 36
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi
blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut
menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata
oleh pengadilan negeri setempat untuk menundudukan porsi masing-masing pemilik
barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan
terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak
sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir
bahkan mungkin merugi,termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Lembaga pembiayaan yang tidak
mendaftarkan jaminan Fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak
eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang
ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat
perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat dihadapan notaris
sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia
dilapangan dalam waktu yang relatif cepat.[32]
Saat
ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada obyek barang yang
dibebanin jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof
coll,atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman
dan lancer saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya
tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan
hukum masyrakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku
bisnis industry keuangan, kususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang
menjalan praktek jaminan fisuia dengan akta dibawah tangan. Bilamana Lembaga
Pembiayaan (leasing) tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia pada instansi yang
berwenang, sekalipun telah memperoleh kuasa dari pemberi fidusia untuk
mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud, maka apabila terjadi
pengalihan,menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek Jaminan
Fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahului dari Penerima
Fidusia adalah termaksud dalam lingkup perkara perdata. Kalau sipemegang gadai
membutuhkan uang tunai, sedang si pemilik barang belum mau menebus barangnya,
maka sipemegang gadai berhak untuk mengalihkan (overdragen) hak gadai kepada orang lain secara menerima pembayaran
uang tunai dari seorang ketiga, asal saja kepada sipemberi gadai diberitahukan
hal pengaliha ini.[33]
Tetapi apabila Jaminan Fidusia dikmasud
telah didaftarkan pada instansi yang berwenang, maka apabila terjadi pengalihan,
mengadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang
dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia,
maka Pemberi Fidusia dapat dijerat dalam perkara pidana sebagaiman dimaksud
dalam Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tantang
Jaminan Fidusia yang menyebutkan:
Pemberi Fidusia yang mengalihkan,
mengadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa perstujuan tertulis
terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidan dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun danm denda paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta
rupiah).
Dalam praktik juga tidak jarang terjadi
Lembaga Pembiayaan (Leasing) mengatakan kepada Pemberi Fidusia yang lagi macet
pembayaran, bahwa benda Jaminan tersebut telah dipasang dan/atau didaftrakan,
akan tetapi Lembaga Pembiayaan (Leasing) dimaksud tidak memperlihatkan
Sertifikat Jaminan Fidusia, sehingga bagi orang awam hal tersebut kadang menjadikan
momok dan menakut-nakuti saja, padahal bila Jaminan Fidusia tersebut tidak
didaftarkan pada instansi yang berwenang, maka murni permasalahan tersebut
hanyalah merupakan masalah keperdataan saja, tidak ada kaitanya dengan
permasalahan pidana
Beberapa kesalahan yang dilakukan
debitor dalam pelaksanaan fidusia, antara lain:
1. Pemberi
fidusia (debitur) mengadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan
fidusia ytanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Tindakan ini biasanya
dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari perusahaan finance untuk pembeliaan kendaraan
bermotor, dimana hutangnya belum lunas tapi kendaraannya telah digadaikan
secara dibawah tangan kepada pihak ketiga. Terhadap perbuatan tersebut, Pasal
36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur
pelaku.
2. Debitur
mengubah dan atau mengganti isi dari benda yang menjadi obyek jaminan sehingga
kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya menganti onderdil kendaraan
bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
Perbuatan debitur
tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatangganinya perjanjian
kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan
fidusia telah “beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia
(kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya “diangap sebagai penyewa”
yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memlihara dan memakai obyek jaminan
yang dikuasainya dengan baik.
Dalam
hal debitor wanprestasi, maka benda persediaan yang telah menjadi jaminan bagi
pelunasaan hutang kepada kreditor diserahkan kepada kreditor (Pasal 30 UUJF)
dengan syarat bahwa apabila ada benda persediaan yang telah dialihkan oleh
debitor, terlebih dahulu wajib diganti dengan nilai yang setara oleh debitor,
sebab kreditor tidak menangung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian
debitor baik yang timbul dalam hubungan kontraktual atau yang timbul darin
perbuatan melawan hukum sehubungan dengan pengunaan dan pengalihan benda yang
dijadikan obyek jaminan fidusia ( Pasal 24 UUJF).
Bedarsarkan
Pasal 5 ayat (1) UUJF, perjanjian pengikatan jaminan atas benda bergerak harus
dibuat dengan akta notaris dan selanjutnya berdasarkan Pasal 11 ayat (1), akta
jaminan yang dibuat secara notariil tersebut wajib didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia. Dengan begitu, perjanjian pengikatan jaminan dengan bentuk
akta notaris adalah merupakan syarat mutlak bagi pengikatan benda bergerak yang
dijadikan jaminan kredit.
Pembebanan
Fidusia dilakukan dengan mengunakan instrumen yang disebut denagan Akta Jaminan
Fidusia, yang harus memenuhi syarat-syarat yaitu berupa Akta Notaris dan
didaftarkan pada Pejabat yang berwenang. Dengan pendaftaran ini diharapkan agar
pihak debitor, terutama yang nakal, tidak dapat lagi mengibulin kreditor atau
calon kreditor dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual barang Obyek Jaminan Fidusia tanpa sepengetahuan
kreditor asal diKantor Pendaftaraan Fidusia yang berada dibawah nauangan
Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai
bukti bahwa penerima Fidusia memiliki hak Fidusia tersebut.[34]
Sertifikat
jaminan fidusia maka kreditor/penerima fidusia serta merta mempunyai hak
eksekusi langsung ( parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam
perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila ketetuan pengikatan
atau pembebanan jaminan benda bergerak sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1)
dan Pasal 11 ayat (1) UUJF diikuti, maka pihak penerima fidusia mempunyai hak
untuk didahulukan (preferent) atas
pemenuhan pembayaran piutangnya dari kreditor-kreditor lainya.
Penerima
Fidusia memiliki Hak Prefensi yaitu hak untuk mengambil pelunasaan piutangnya
atas hasil eksekusi benda yang menjadi Obyek jaminan Fidusia.[35]
Hak prefensi baru diperoleh pada saat didaftarkanya Fidusia diKantor
Pendaftaraan Fidusia dan Hak dimaksud tidak hapus karena adanya kepailitan dan
atau likuidasi Pemberi Fidusia.[36]
Jika piutang dialihkan kepada pihak lain, maka Fidusia yang menjamin hutang
tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan Fidusia.
Jadi
seandainya karena alasan apapun, benda Jaminan Fidusia tersebut beralih
ketangan orang lain, maka Fidusia atas benda tersebut tetap saja berlaku dan
tidak ada kewajiban dan tanngung jawab dari Penerima Fidusia atas akibat
kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari Pemberi Fidusia, yang timbul karena
hubungan konraktual ataupun karena perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan
pengunaan dan pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.
Hak
didahulukan atau hak preferent yang dimiliki kreditor sesuai dengan penengasan
Pasal 27 ayat (3) UUJF. Pasal ini menengaskan bahwa hak didahulukan yang
dimiliki kreditor tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi dari
debitor/pemberi fidusia. Dalam praktiknya. Mengalihkan obyek jaminan fidusia
dapat dikategorikan penggelapan.
Rumusan
itu disebut/ diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan diatas tidak memberi arti
sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang
sebenarnya. Perkataan verduistering
yang kedalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu,
bagi masyrakat Belanda diberikan arti secara luas ( figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya
sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.
Pada
contoh yaitu pengalihan hak atas obyek jaminan fidusia oleh pemberi fidusia
tanpa sepengetahuan dan ijin tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia,
maka berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Fidusia, dapat dikenai tindakan pidana
dan dijatuhi hukuman.
Dari
rumusan penggelapan sebagaimana tersebut diatas, jika dirinci terdiri dari
unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toeigenen), sesuatu
benda (eenig goed), yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada
dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, ndan unsur-unsur subjektif meliputi
penggelapan dengan sengaja (opzettelijk),
dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk).
Perbuatan
memiliki. Zicht toeigenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menggap
sebagai milik, atau ada kalahnya mennguasai secara melawan hak, atau mengaku
sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308
K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht dalam bahasa Indonesia belum ada
terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjamahkan dengan perkataan
mengambil atau memiliki. Waktu membicarakana tentang pencurian dimuka, telah
dibicarakan tentang unsure memiliki pada kejahatan itu.
Pengertian
memiliki pada penggelapan ini ada perbedaanya dengan memiliki pada pencurian.
Perbedaan ini, ialah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur
subjektif, sebagai maksud untuk memiliki ( benda objek kejahatan itu). Tetapi
pada penggelapan, memilki berupa unsur objektif, yakni unsure tingkah laku atau
perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak
disyratakan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini
sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja.
Tetapi
pada penggelapan, memiki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau
perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak
disyaratkan benar-benar ada wuhjud dari unsur memilki itu, karena memiliki ini
sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada
penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka
memilki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan
sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan.
Bentuk-bentuk
perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, mengadaikan dan
sebagainya. Pada Pencurian, adanya unsure maksud untuk memiliki sudah tampak
dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena sebelum kejahatan itu dilakukan
benda tersebut belum ada dalam kekuasaanya, sebelum penggelapan. Oleh sebab
objek kejahatan, sebelum penggelapan terjadi telah berada dalam kekuasaanya,
maka menjadi sukar untuk menentukan kapan saat telah terjadinya penggelapan
tanpa adanya wujud perbuatan memiliki.
Unsure
objek kejahatan ( sebuah benda). Pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa benda
yang menjadi objek pencurian adalah benda- benda bergerak dan berwujud, yang
dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam, berbagai putusan
pengadilan telah ditafsirkan sedemikan luasnya,sehingga telah menyimpang dari
pengertian semula. Seperti gas dan energy listrik juga akhirnya dapay menjadi
objek pencurian. Berbeda dengan benda energy listrik juga akhirnya dapat
menjadi objek pencurian. Berbeda dengan benda yang menjadi objek penggelapan,
tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda uang bergerak dan berwujud
saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaanya sebagaiama
yang telah diterangkan diatas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda
yang tidak berwujud.
Pengertian
benda yang berada dalam kekuasaanya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan
sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak
melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung
tanpa harus melakukan perbutaan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap
benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada
benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.
Adalah
sesuatu yang mustahil terjadi seperti menngelapkan rumah, menggelapkan energy
listrik maupun menggelapkan gas. Kaluapun terjadi hanyalah menggelapkan surat
rumah ( sertifikat tanah), menggelapkan tabung gas. Kalau terjadi misalnya
menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini
bukan penggelapan, tetapi pencurian. Karena orang itu dengan gas tidak berada
dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya.
Hanya
terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa
melalui perbuatan lain terlebih dulu. Lain dengan isinya, untuk berbuat
terhadap isinya misalnya menjualnya, ia tidak dapat melakukan secara langsung
tanpa melakukan perbuatan lain, yakni membuka kran tabung umtuk
mengeluarkan/memindahkan gas tersebut.
Sebagian
atau seluruhnya milik orang lain. Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak
semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat terjadi objek
penggelapan.benda milik suatu badan hukum, seperti milik Negara adalah berupa
benda yang tidak/ bukan dimilki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik
orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi
objek penggelapan maupun pencurian.
Orang
lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak
menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tetentu, melainkan
siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan
tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan
bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti
penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji dikamar mandi stasiun kereta
api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk menjualnya, lali dijualnya.
Benda
dalam berada kekuasaanya bukan karena kejahatan. Disini ada 2 unsur, yang
pertama aberda dalam kekuasaanya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal
unsur berada dalam kekuasaanya telah disinggung diatas. Suatu benda berada
dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat
hubungan sedemekian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam
kekuataan terhadap benda itu ia dapat segera melakukanya secara langsung tanpa
terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain.
Misalnya
ia langsung dapat melakukan perbuatan menjualnya, menghibahkannya,
menukarkanya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain
terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan anatara agar ia
dapat berbuat secara langsung).
B
. Sanksi hukum Terhadap Adanya
Kejahatan Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia
Bagian
penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaanya
akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan
sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakan berlakunya norma disisi lain,
pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks pada sistem peradilan
pidana karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda.
Setiap
hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuataan suatu sanksi
tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi tersebut. Misalnya mengenai
sanksi negatif umpamanya pada pelaksaan hukuman mati, paasti akan menimbulkan
persepsi yang berbeda.[37]
Sebelum
membicarakan masalah jenis-jenis pidana yang dikenal orang didalam Hukum Pidana
Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu, yaitu apa yang sebenarnya
dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.
Menurut
Van Hamel, arti dari pidana atau straft
menurut hukum positif dewasa ini adalah:
Een
bijzonder leed, tegen den oprtreder van een door ben staat geandhaafd rechtsvoorscarift,
opden den enkelen grond van dieopertrading, van wege den staat als handhaver
der openbare, door met met de rechtbedeeling belaste gezag uit te spreken.
Suatu penderitaan yang besifat
khusus, yangf telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menajatuhkan
pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum
bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar
suatu peraturan hukum yang harlus ditegakan oleh Negara.[38]
Menurut simons, pidana atau strarf itu adalah :
Het
leed, door de strafwet als gelvolg aan overtrading van d norm verbonden, data
aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.
Artinya:
Suatu penderitaan yang oleh
undang-undang pidana yang telah dikaitakan dengan pelaggaran terhadap suatu
norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang
bersalah.[39]
Algra-Jansen telah merumuskan
pidana atau straf sebagai:
Het
middle waarmee de overhedi (recthter) degene die een ontoelaatbare hamdelling
pleegt terechwijst of tot orde roept. Deze reactive van de overhead op zinj
handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescheriming die hijz, als hij
geen delict gepleegd zou hebben, gentlet t.a.v zijn leven, zijn vrijheid, zijn
vermogen.
Artinya:
Alat yang digunakan oleh penguasa
(hakim) untuk memeperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang
tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebuttelah mencabut kembali
sebagian dari perlindumgan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa,
kebebasan dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu
tindak pidana.
Ini
berarti pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai
tujuan. Hal tersebut perlu dijelaskan, agar di Indonesia jangan sampai terbawa
oleh arus kacaunya cara berpikir dari penulis di Negeri Belanda, karena mereka
seringkali telah menyebut tujuan dari pempidanakan dengan perkataan tujuan dari
pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadarinya
kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah
menerjemahkan perkataan doel der straf
sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.
Berdasarkan
konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia dibawah tangan masuk dalam tindak
pidana Pasal 368 KUHPidana jika kresitor melakukan pemaksaan dan ancaman
perampasan. Pasal ini menyebutkan:
1. Barang
siapa dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk
memberikan barang sesuatu, yang tseluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena pemerasaan dengan pidana penjara paling lam Sembilan
bulan.
2. Ketentuan
Pasal 365 ayat kedua,ketiga,dan keempat berlaku bagi kejahataan ini.
Situasi ini terjadi jika kreditor dalam
eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang tersebut sebagian atau
seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian atau
seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang
tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan
dalam kantor fidusia.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor
dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal
diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
Walaupun juga diketahui dalam barang tersebut sebagian dari barang tersebut
adalah milik kreditor yang mau mengesekusi tetapi tidak didaftarkan dalam
dikantaor fidusia.
Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat
terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah,
untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah
urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Apabila debitor mengalihkan benda objek
fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat
dengan UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena fidusia tersebut sah
atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
Bahwa pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi
mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu
butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi
perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bahkan apabila debitor mengalihkan benda
objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat
dijerat dengan UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, karena fidusia
tersebut tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
UU Fidusia hanya mengatur pidana Pasal
35
Setiap orang yang dengan sengaja
memalsulkan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan
keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu
pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1000.000,-(seratus juta rupiah).
Pemberi Fidusia yang menaglihkan,
mengadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat(2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis
terlebih dahulu daripenerima fidusia, dipidanakan dengan pidana penajara paling
lama 2(dua) tahun dan paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri
Blitar No.247/Pid . P/2009/PN. Blt, tanggal 14 Febuari 2010 menjatuhkan pidana
kepada pelaku pengalihan objek jaminan fidusia tanpa ijin yang amar lengkapnya
sebagai berikut:
1. Menyatahkan
terdakwa: Mahmudi bin Sumalih, telah terbukti secara sah dan meyakimkan
bersalah melakukan tindak pidana “mengalihkan benda Yang menjadi Obyek Jaminan
Fidusia Yang Dilakukan tanpa Persetujuan Tertulis terlebih Dahulu dari Penerima
Fidusia”.
2. Menghukum
Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Penjara selama 8( delapan) bulan dan
denda sebesar Rp.50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), dan apabila terdakwa
tidak membayar denda tersebut, maka diganti dengan Pidana Kurungan Pengganti
denda selama 3 (tiga) bulan:
3. Menetapkan
agar barang bukti berupa:
-
1 (satu) unit Sepeda
motor Honda NF 100 TD (Revo), Nomor Polisi: AG 4427 KT, warna biru , Tahun
2008, Nomor Ramgka: MHIHB62188K272070, Nomor Mesin:HB62E 1268521, atas nama :
Mahmudi, alamat: Dusun/Desa Soso RT.3/2 Gandusar i Blitar, berikut STNK (Surat
Tanda Nomor Kendaraan) tersebut, dikembalikan kepada PT. Sasana Artha Finance
(SAF)
4. Membebankan
Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah).
Jaminan fidusia
yang tidak dibuatkan sertifikat jamina fidusia menimbulkan akibat hukum yang
komplek dan berisiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap
sepihak dan dapat menimbulkan kesewenagan-wenagan dari kreditor. Bisa juga
karenamengingat pembiyaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai
dengan nilai barang. Atau, debitor sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari
perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang
tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor.
Yang dimaksud
pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari
seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah
lembaga permasyrakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan
tata tertib yang berlaku didalam lembaga permasyrakatan, yang dikaitkan dengan
suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Pidana penjara
sudah dikenal orang sejak abad keenam belas atau abad ketujuh belas, tetapi
berbeda dengan pidana penjara dewasa ini, pidana penajara pada waktu itu
dilakukan orang dengan menutup para terpidana dimenara-menara, dipuri-puri,
dibenteng-benteng dan lain-lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi pidana
mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan
kemerdekaan, baik yang untuk sementara ataupun yang untuk seumur hidup.
Pidana penjara
sebagaimana yang dapat kita jumpai dewasa ini baru mulai berkembang sejak
dihapuskanya pidana mati atau pidana badan diberbagai negara, tetapi perlakuan
terhadap para terpidana didalam rumah-rumah penjara sering kali sifatnya adalah
tidak manusiawi.
Banyak usaha
yang telah dilakukan orang agar perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para
terpidana segera dapat dihentikan dan diganti dengan tindakan-tindakan yang
bersifat lebih lunak.
Sejak abad
ketujuh belas, dimana-mana orang mulai membangun apa yang disebut tuchtauizen atau lembaga-lembaga
penertiban, dan apa yang disebut werkplaatsen
atau lembaga-lembaga kerja, mula-mula di Amsterdam, kemudian di Hanzesteden,
semuanya di negeri Belanda, yang kemudian disusun dengan lembaga-lembaga yang
sejenis hampir diseluruh Eropa, antara lain apa yang disebut verbeterhuis atau lembaga untuk
memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma pada tahun 1703 dan apa yang disebut tuchthuis atau lembaga penertiban di
Gent pada tahun 1775.
Sejak saat itu
orang menghendaki agar pidana penjara mempunyai tujuanya yang tersendiri, yaitu
buak saja dengan maksud untuk menutup dan mebuat jera para terpidana melainkan
juga memperbaiki para terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka untuk
menaati peraturan-peraturan tata tertib dan membidik mereka secara sistematis
untuk melakukan macam-macam pekerjaan.
Dengan tujuan
seperti itulah apa yang disebut tuchthuizen,rasphuizen dan apinhuizen di Amsterdam dan Hanzesteden itu telah dibangun, yakni
dengan maksud agar para pengemis, para pemabok, para pelacur dan remaja-remaja
yang telah mendapat pengaruh dari para penjahat dapat membiasakan diri dengan
melakukan berbagai pekerjaan yang berguna bagi mereka, apabila mereka
sewaktu-waktu dikemabalikan ketengah-tengah kehidupan masyarakat normal.
Tuchthuis secara harfiah artinya rumah
penertiban. Yang dimaksud dengan tuchtuis
diatas adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat,
sedang rasphuis adalah rumah penjara
diamana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya
memintal benang.
Lembaga untuk
memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma dan apa yang disebut tucthtuis di Gent itu, dengan sengaja
telah membangun dengan maksud untuk memisahkan para terpidana pada malam hari
didalam selnya masing-masing. Sama halnya dengan kebiasaan untuk menentapkan
para terpidana secara terpisah sesuai dengan berat-ringanya pidana yang harus
mereka jalankan di rumah-rumah penjara mana pun didunia ini, kita di Indonesia
pun mengikutikebiasaan, yaitu untuk menempatkan mereka yang dijatuhi pidana
kurungan secara terpisah dengan mereka yang dijatuhi pidana.[40]
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah lembaga-lembaga permasyarakatan di
Indonesia itu adalah Ordonansi 10 Desember 1917, staatsblad Tahun 1617 Nomor 708, yang juga dikenal dengan sebutan Gestichtereglement.
Hingga dewasa
ini belum berhasil membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baru, yang
sesuai dengan gagsan untuk mengubah nama rumah penjara dengan nama lembaga
permasyarakatan, hingga apa yang diatur didalam Gestichtenreglement itu sudah barang tentu tidak sesuai lagi dengan
tujuan untuk membuat lembaga-lembaga permasyarakatan itu sebagai
lembaga-lembaga untuk memasyarakatkan kembali para terpidana, yang sedang
menjalankan pidana mereka didalamnya.
Menurut
ketentuan didalam Pasal 4
Gestichtenreglement, yang disebut gevangenen
atau orang-orang tahanan itu adalah :
a. Orang-orang
yang menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan,
b. Orang-orang
yang dikenakan penahanan sementara,
c. Orang-orang
yang disandera (gegijzelden), dan
d. Lain-lain
orang yang sedang tidak mejalankan pidana penjara atau pidana kurungan, akan
tetapi yang secara sah menurut undang-undang dimasukan kedalam lembaga
permasyrakatan.
Pasal 30 ayat 1(satu) Gestichtenreglenent melarang setiap
Kepala Lembaga Permasyarakatan menerima orang untuk ditutup didalam lembaga
permasyarakatan yang ia pimpin, apabila tidak disertai dengan suatu putusan
hakim, suatu surat perintah atau suatu penetapan yang telah dikeluarkan oleh
kekusaan yang berwenang.
Bagaimana jika terpidana yang
dimaksudkan didalam suatu Lembaga Permasyarakatan itu adalah seorang wanita
yang masih menyusui anaknya?
Apabila terpidana menghendakinya, maka
ia dapat membawa anaknya yang masih menyusu kedalam lembaga permasyarakatan,
dengan ketentuan bahwa segera setelah anaknya tidak perlu lagi untuk disusui
oleh ibunya atau selambat-lambatnya dua tahun setelah terpidana dimasukan
kedalam penjara, anak itu harus dibawa keluar dari lembaga permasyarakatan
untuk dipelihara oleh ayahnya atau oleh anak keluarganya.
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud
diatas, juga berlaku bagi anak-anak yang dilahirkan didalam lembaga
permasyarakatan. Seseorang yang diterima didalam suatu lembaga permasyarakatan
untuk menjalakan pidana penjara, sama sekali tidak diperkenankan membawa barang
apapun juga, sedang lain-lain orang tahanan termasuk mereka yang harus
menjalankan pidana kurungan dengan siizin Direktur Lembaga Permasyarakatan
dapat membawa barang-barang yang ada pada mereka ketempat dimana mereka akan
ditempatkan dalam lembaga permasyarakatan.
Ketika proses hukum sedang berlangsung
dan selama pihak debitor belum menyerahkan barang kepada pihak Kepolisian atau
pihak perusahaan maka debitor yang bersangkutan akan menjalanin proses hukum
dengan tuntutan telah melakukan tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia,
dan segala kosekwensi dari proses ini perusahaan tidak akan mendapatkan kembali
barang sebagai jaminan dari pihak debitor. Tetapi biasanya setelah proses
tindak pidana tersebut dilimpahkan kepada Kepolisian, pihak debitor akan dapat
mengembalikan barang/ kendaraan tersebut kepada pihak Perusahaan. Karena pada
umumnya pihak debitor tidak mau menjadi tahanan pihak kepolisian.
Sebenarnya tindakan pelaporan terhadap
pidana pengalihan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh debitor kepada pihak
Kepolisian ini merupakan salah satu jalan terakhir, mengingat pihak debitor
tidak dapat menyerahkan atau membuktikan barang yang telah termasuk kepada
perjanjian sewa beli yang merupakan barang jaminan. Dan status barang tersebut
sebenarnya masih dalam kekuasaan kreditor.
C. Upaya Yang Dapat
Dilakukan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia
Asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa
perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang besepakat, akan menjadi
undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum
perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia
dibawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan
dengancara mengajukan gugatan perdata kePengadilan Negeri melalui proses hukum
acara yang normal hingga turunya putusan pengadilan.
Dengan demekian kebijakan hukum pidana
berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab
itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/koperasionalisasi/fungsionalisasi
hukum pidana material ( substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana)
dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat
dikaitkan dengan tindakan-tindakan.
1. Bagaimana
upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
2. Bagaimana
merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
3. Bagaimana
kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
4. Bagaimana
mengunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan
yang lebih besar.
Inilah pilihan yang prosedural hukum
formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materil yang
dikandungnya. Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak
menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun
tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis.
Dengan demekian, sekiranya kebijakan
penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan mengunakan sarana
“penal” (hukum pidana), maka
kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum
pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan
dari kebijakan sosial itu, berupa “social
welfare” dan “social defence”.
Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian
untuk menaggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya disamping upaya-upaya
lain. Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian
kecil dari penaganan kejahatan secara keseluruhaan.
Upaya melalui sistem peradilan pidana
dikenal dengan istilah “upaya penal” yaitu dengan mengunakan peraturan
perundang-undangan pidana, disamping upaya “non
penal” yang penekanannya ditujunjukan
pada faktor penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhaan penaggulangan kejahatan
ini merupakan politik kriminal. Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah
suatu usaha rasional untuk menaggulangi kejahatan.
Politik kriminal ini merupakan bagian
darki politik penegakan hukum yang arti luas ( law Enforcement policy) yang
merupakan bagian dari politik sosial (social
policy) yakni usaha dari masyarakat untuk meningkatkan kesejatahteraan
warganya.
Dalih mengejar margin besar juga harus
mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menajdi
nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara
bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.
Sekarang ini banyak sekali esksekusi
yang dilakukan oleh pihak pembiayaan kendaraan bermotor terhadap konsumen
kredir sepeda motor/mobil yang menuggak angsuranya, padahal tindakan mereka
tersebut adalah ilegal karena mereka tidak mempunyai hak esksekutorial akibat
dari tidak terdaftarnya perjanjian jaminan fidusia antara konsumen dengan
perusahaan pembiayaan. Hal ini sudah lama berlangsung sampai sekarang tanpa
adanya tindakan yang diambil dari pihak pemerintah sedangkan dari pihak
konsumen mereka kebanyakan tidak tahu apakah perjanjian jaminan fidusia yang
mereka tandatanggani tersebut tidak didaftarkan. Seharusnya eksekusi ilegal
tersebut mendapat sanksi dari aparat penegak hukum karena sudah diatur dalam UU
No,42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Selama sistem penegakan hukum dinegara
ini tidak berjalan dengan benar, penegakan hukum yang tidak konsekuen dari para
penegak hukum yang memiliki kekuasaan, ujung-ujungnya adalah rakyat yang
menjadi korban. Akhirnya terjadi peningkatan permintaan jasa penagihan sehingga
mucullah para debt collector baik yang bekerja sendiri
maupun yang terorganisir sampai dengan tragedi kematian.
Solusi yang perlu dilakukan pemerintah
bersama DPR adalah membuat Undang-Undang yang mengatur tentang jasa penagihan,
mengesahkan jasa penagihan sebagai salah satu profesi yang dapat diakui oleh
masyrakat luas, dan diatur bagaimana komunitas atau seseorang dapat melakukan
jasa ini dengan memiliki sertifikasi melalui pelatihan-pelatihan tertentu
sehingga komunitas ini memiliki keahlian sebagai seorang tenaga atau profesi
jasa penagihan yang profesional yang tidak bertentangan dengan hukum nasional
Indonesia.
BAB
IV
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1. Ketentuan
hukum terhadap pelarangan pengalihan obyek jaminan fidusia ditinjau dari
Undang-Undang No.42 Tahun 1999 secara jelas diatur pada pasal 36. Hal ini juga
dibuktikan dengan adanya pernjatuhan hukuman bagi pelaku pengalihan obyek
jaminan fidusia tanpa izin ,yaitu pada Putusan Pengadihan Negeri
Blitar NO.247///Pid.B/2009/PN.Blt yang menjatuhkan hukuman pada pelaku .
2. Penerapan
sanksi yang dilakukan Perusahaan terhadap tindak pidana pidana pengaluhan objek
jaminann fidusia yang dilakukan debitor adalah :
a. Dengan
melakukan pengambilan / penyitaan secara paksa meskipun barang /kendaraan
(tersebut berada pada pihak ketiga(sudah tidak ada ditangan debitor),tetapi petugas pelaksananya masih
dilakukakn oleh petugas .
b. Dilaporkan
kepihak kepolisian ,karena pihak perusahaan tidak dapat melakukan tindakan
terhadap debitur,karena debitornya sulit ditemui ,atau tidak dapat menunjukkan
/menyerahkan barang yang menjadi jaminan .
3. Upaya-upaya
yang dilakukan oleh petugas oleh perusahaan
dengan cara apapun tidak dapat berhasil dengan baik, sehingga jalan
terakhir yaitu, dengan melaporkan ke pihak kepolisian.
B.Saran
1. Para
karyawan bagian Marketing seyogianya lebih memperhatikan kinerja debitor dalam
membayar kewajibannya dalam membayar kewajibannya terhadap dan tidak sekedar
mengejar nasabah sebanyak-banyaknya
tanpa memperhatikan kemampuan debitor.
2. Menjalin
Kerjasama dengan instansi terkait , terutama dengan pemerintahan setempat
dimana pihak debitor tinggal ,karna
dengan demikian dapat diperoleh informasi seakurat mungkin mengenai tindakan yang dilakukan oleh
debitor terhadap barang /kendaraan roda empat (mobil) yang menjadi jaminan .
3. Sebaiknya
debitor dapat menjalankan kewajibannya dengan baik , sheingga benda objek
jaminan fidusia tidak perlu di alihkan lagi.
A.BUKU-BUKU
A.Zainal Abidin Farid.1995. Hukum Pidana I. Sinar
Grafika . Jakarta.
Adrian Sutedi,2008. Tanggung Jawab Produk (dalam Hukum Perlindungan Konsumen ),
Bogor: Ghalia Indonesia,
Astiko dan sunardi, 1996. Pengantar manajemen Perkreditan. Andi. Yogyakarta.
Edy Putra TjeAman . Kredit Perbankan Suatu Tinjauan
Yuridis. Liberty,Yogyakarta.2003
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia .
Raja Grafindo
Aditya Bakti. Bandung.
Hasanuddin Rahman ,1998. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Munir Fuady .
Jaminan Fidusia .Aspek-Aspek Hukum
Pemberian Kredit Perbankan Citra Aditya Bhakti ,Bandung .2002..
Thomas Soebroto. Tanya
Jawab Hukum Jaminan Hipotik
Fidusi Penanggungan dan
lain lain
. Dahara Prize. Semarang.1995.
M.Bahsan ,2007. Hukum
Jaminan dan Jaminan Kredit
Perbankan Indonesia. Raja Grafindo
Persada.Jakarta.
Memoar
Abdullah Ali. 1995. Liku-liku Perjalanan Perbankan Indonesia
.Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
Moljatno. Kitab Undang-undang Hukum Pidana . PT Bumi
Aksara .Jakarta.2000
Muhammad Djumhana, 2006. Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia . Citra Aditya Bakti. Bandung
Munir
Fuady.1999. H ukum Bisnis dalam Teori dan Buku
Kedua . Citra Aditya Bakti. Bandung.
P .A.F Lumintang .1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia .Citra Aditya Bakti.Bandung.
Schaffmeister dkk..1995.Hukum Pidana .Liberty.Yogyakarta.
Subekti.1996. Jaminan
–jaminan untuk Memberikan Kredit..Citra Aditya Bakti.Bandung.
Sri Soedewi M.sofwan. 19980. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga
Jaminan
Fidusia didalam Praktik dan Perkembangan di Indonesi.
Fakultas Hukum UGM.Yogyakarta.
Thomas soebroto. 1995 Tanya Jawab Hukum Jaminan . Hipotik Fidusia Penanggungan
dan lain-lain.Dahara Prize.
Semarang .1995.
Topo Santoso dan Eva Achjani .2000.
Kriminologi.Rajawali Press.Jakarta.
KARYA ILMIAH /SITUS INTERNET
Hardjima. “Sekilas tentang Fidusia dan
Jaminan Fidusia” .
http: //hardjima.wordpress.com/2008/04/15/sekilas-tentang-fidusia-dan –jaminan-fidusia/. diakses tanggal 8 April 2014.
http: //hardjima.wordpress.com/2008/04/15/sekilas-tentang-fidusia-dan –jaminan-fidusia/. diakses tanggal 8 April 2014.
Sifat Hak Tanggungan . Jaminan Fidusia dan Jaminan
Gadai. http:// pumkiens.multiply.com/reviewrs/item/5.
Diakses tanggal 01 April 2014
[1] Munir fuady, Hukum Jaminan Utang,Penerbit Airlangga,Tahun 2013,hal
118-119
[3] Ibid halaman 186
[4] Syafrudin Husein .2003. Kejahatan dalam Masyarakat dan upaya
Penanggulangannya .makalah.Fakultas Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatra Utara.Medan
. Halaman 1.
[5] Ibid.
[6] Moeljatno,op,Cit. halaman 61
[7] P
.A.F Lumintang .1997. Dasar-dasar Hukum
Pidana Indonesia .Citra Aditya Bakti.Bandung.Halaman 182
[8] Ibid .Halaman 184
[9] Moeljatno,Loc.Cit.
[10] Ibid ,halaman 62
[11] Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung Alumni,Halaman 148
[12] R.soenarto soerodibroro ,2003, KUHP dan KUHAP ,Jakarta: Raja
Grafindo Persada ,Halaman ,halaman 9
[13] P.A.F. Lamintang Halaman 184
[14] Dwidja Priyatno. 2006.,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia
.Jakarta: Refika Aditama . Halaman 2
[15] Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit. halaman 173
[16]Gunawan widjaja .Op.Cit. Halaman 75
[17] Ibid
[18] Acmeira “hukum jaminan kebendaan.” http://skullcmeira.blogspot.com/2011/10/hukum-jaminan-kebendaan.html,diakses
tanggal 02 April 2014
[19] Ibid .halaman 60
[20] Vanplur.”Hukum Jaminan “ http://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum
-jaminan/.. diakses tanggal 12 April 2014
[21] Marulak Pardede,2006. Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian
Kredit di Indonesia,Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum
dan HAM RI .Halaman 35
[22] Ibid
[24] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia .Raja Grafindo Aditya
Bakti. Bandung.
[25] Marulak Pardede,Op.Cit. halaman 35
[26] Ibid
[27] “sifat Hak Tanggungan . Jaminan Fidusia dan Jaminan Gadai. http://pumkienz.multply.com/reviews/5.diakses
tanggal 01 April 2014
[28] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,. Op.Cit.halaman 134
[29] Handjima.”Sekilas tentang fidusia dan Jaminan Fidusia
“.http://handijma.wordpress.com/2008/04/15/sekilas-tentang-fidusia/.diakses
tanggal 8 April 2014
[30] Munir Fuady,Op.Cit.,halaman 51
[31] Hardjima.Loc.Cit
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] P.A.F . Lamintang ,Op,Cit,halaman 146
[35] Ibid . halaman 153
[36] Ibid
[37] P.A.F. Lamintang ,Op.Cit. halaman 594
[38] Grace P.Nugroho ,”eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia
dengan Akta di Bawah Tangan
“,http://hukumonline./berita/baca.hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-tangan.diakses
tanggal 10 April 2014
[39] Wirjono Prodjodikoro,1986. Hukum Perdata tentang Hak atas Benda, Bandung Intermasa,halaman 174
Tidak ada komentar:
Posting Komentar