Kamis, 24 November 2016

skripsi fakultas hukum



ANALISA HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ATAS PENGALIHAN OBYEK JAMINAN FIDUSIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG HUKUM JAMINAN FIDUSIA





NAMA MAHASISWA
NPM :


Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Jurusan Ilmu Hukum



Telah disetujui oleh Tim Penguji pada tanggal seperti tertera di bawah ini



Medan, ............................2014

Disetujui oleh,




(Prof. Dr. Hj. Mariam Darus Badrulzaman, SH)
Ketua STIH Graha Kirana




(Karolina Sitepu, SH, MH)
Pembimbing






SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)
GRAHA KIRANA
MEDAN
2013

BAB I

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
                Setiap kegiatan usaha yang memerlukan fasilitas kredit, disyaratkan harus ada jaminan dalam pelaksanaannya. Bagi pemberi kredit atau kreditor, pemberian kredit lazimnya akan dilaksanakan apabila terdapat jaminan pemberian kredit terlebih dahulu, meskipun pemberian jaminan bukanlah merupakan syarat mutlak. Hal ini dilakukan karena kredit yang telah diberikan mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya, pemberi kredit harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan “Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan atas perkreditan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat .”
Mengurangi resiko tersebur, diperlukan jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penelitian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan proyek usaha dari Nasabah Debitur.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 Tahun Jaminan Fidusia berlaku terhadap setiap perjanjian yang bertujuan untuk membebani Benda dengan Jaminan Fidusia, terutama bagi Lembaga Pembiayaan (Leasing). Pembebanan jaminan fidusia ini juga memiliki aspek pidana. Salah satu tindak pidana yang berhubungan dengan pelaksanaan dengan pelaksanaan fidusia adalah adanya pengalihan abjek jaminan fidusia oleh yang tidak berhak.
Obyek jaminan fidusia adalah barang-barang yang secara sosial dapat menunjang kelancaran jalannya suatu usaha/perusahaan.
Undang-Undang Jaminan Fidusia menjelaskan beberapa benda yang dapat dijadikan sebagai obyek jaminan fidusia, yang akan tersebar dalam beberapa pasal Ketentuan tersebut antara lain terdapat Pasal 1 angka (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda obyek jaminan fidusia tersebut adalah:
1.               Benda tersebut harus dapat memilih dan dialihkan secara hukum
2.               Dapat atas benda berwujud.
3.               Dapat juga atas benda tidak berwujud,termasuk piutang
4.               Dapat bergerak
5.               Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan
6.               Bendfa tidak bergerak yang tidak dapat dikaitkan dengan hipotik
7.               Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal ini benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
8.               Dapat atas suatu satuan atau jenis benda
9.               Dapat juga atas lebih dari sutu jenis atau satuan benda
10.           Termasuk hasil benda yang telah menjadi obyek fidusia
11.           Termasuk juga hasil dari benda yang telah menjadi obyek jaminan fidusia.
12.           Benda persediaan (inventory, stock perdangangan) dapat juga menjadi obyek fidusia.[1]

Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang an diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.
Kebanyakan rumusan tindak pidana mengatur unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan .
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditinjukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengrtian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur  wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh memori van  toelicting Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan  dikehendaki dan diketahui.
Apabila  unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut. Menurut teori kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan  seperti yang dirumuskan dalam wet (perundang-undangan), sedangkan menurut yang lain, kesengajaan  adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahi unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet.[2]
Unsur kesengajaan diatas ditambah pula dengan unsur yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kealpaan  atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste shuld dan kealpaan disadari atau bewustu schuld. Dimana dalam unsur ini kurang berhati-hati.
Unsur culpa atau kelalaian , unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Kejahatan adalah “ suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan-perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat.” Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada manusia yang memberikan penilaian itu. Kejahatan merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian dapat menangkap berbagai komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain.
Jadi apa yang disebut kejahatan oleh seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun misalnya semua golongan dapat menerima suatu itu merupakan kejahatan tapi berat ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. R.oesilo yang dikutip oleh Syafrudin  Husein membedakan pengertian secara juridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis.
Ditinjau dari segi juridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan Undang-Undang. Ditinjau dari segi sosiologis , maka yang bermaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku  yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan , ketentraman dan ketertiban.
Berdasarkan adanya latar belakang di atas maka dilakukan penelitian dengan judul : “Analisa Hukum Terhadap Tindak Pidana Atas Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Hukum Fidusia.”
B.     Rumusan  masalah
Adapun rumusan masalah dalam penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       Bagaimana ketentuan hukum terhadap pelarangan pengalihan obyek jaminan fidusia ditinjau  dari Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Hukum Fidusia?
b.      Bagaimana Unsur-Unsur dari tindak pidana terhadap objek jaminan fidusia?
c.       Bagaimana akibat hukum terhadap pengalihan obyek jaminan fidusia?
C.    Tujuan Penelitian
            Tujuan dari penelitian  ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui ketetentuan hukum pidana terhadap pengalihan obyek jaminan fidusia ditinjau dari Undang-Undang No. 42 tahun 1999
2.      Bagaimana Unsur-Unsur dari tindak pidana terhadap objek jaminan fidusia?
3.      Bagaimana akibat hukum terhadap pengalihan obyek fidusia?

D.    Manfaat Penelitian
Adapun faedah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.       secara teoritis akan memberikan sumbagih bagi ilmu pengetahuan mengenai pengalihan obyek fidusia.
b.      Secara praktis dapat menjadi acuan bagi pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan perbuatan dengan sengaja tidak memberikan informasi publik
E.     Keaslian Penulisan
Judul penulis pilih adalah “ANALISA HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA ATAS PENGALIHAN OBYEK JAMINAN FIDUSIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG HUKUM FIDUSIA”,yang diajukan dalam rangka memenuhi syart untuk memperoleh gelar “Sarjana Hukum”. Judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Graha Kirana Medan. Penulisan ini bedasarkan referensi buku-buku,media cetak, dan elektronik. Oleh karena itu penulisan ini merupakan sebuah karya asli sehingga tulisan ini dapat di pertanggung jawabkan.
F.     Metode Penelitian
Metode Penelitian yang dilakukan meliputi:
1.      Sifat/Materi penelitian
Penelitian ini bersifat yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang merupakan prosedur pemecahan masalah yang diselediki dengan menggambarkan dan menyusun mengenai sistematis dalam memecahkan permasalahan yang terdapat pada pengalihan obyek jaminan fidusia .                                      
2.      Sumber Data
Sumber data dalam ini berasal dari ini didapatkan data sekunder yang meliputi :
a.       Bahan hukum primer yaitu peraturan perUndang-Undangan, seperti Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang fidusia, Undang-Undang No. 10 tahun 1998 dan KUHPerdata dan KUHP.
b.      Bahan hukum sekunder berupa buku bacaan yang berkaitan dengan penelitian
c.       Bahan hukum tertier berupa kamus hukum dan kamus bahasa Indonesia
3.      Alat Pengumpul Data       
Alat pengumpul data yang dipergunakan dalam penelitian yang penulis lakukan adalah melalui studi dokumen (library research).
4.      Analisis Data
Permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini akan dibahas dengan cara menguraikan kalimat, sehingga analisis yang digunakan adalah analisis kualitif.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.    Tinjauan Tindak Pidana
            Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normative). Van Hammel merumuskan straafbaar feit  adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.[3]  Kejahatan atau perbuatan jahat bisa diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in abstracto dalam peraturan pidana. Sedangkan dalam kriminologis adalah (perbuatan manusia yang memperkosa/menyalahi norma yang hidup di masyarakat secara kongkret).
            Syarat untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi delik dalam Undang-Undang. Ini merupakan konsekuensi logis dari asas legalitas sebagai prinsip kepastian.
            Perkataan “feit”itu sendiri di dalam bahasa belanda beartikan sebagian dari suatu penyataan atau een gedeelte van de werkelijkheid, sedangkan strafbaar feit berarti dapat dihukum,hinnga secara harfiah perkataan strafbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai “sebahagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang dapat dihukum itu sebernya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan atau tindakan.
            Menurut pompe,”strafbaar feit”secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanngaran norma (ganguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terjamin kepentingan hukum”, [4] sebagai contoh telah dikemukakan oleh pompe suatu pelanggaran norma seperti yang telah dirumuskan didalam pasal 338 Kitab Undang-Undang hukum pidana .
            Professor van hattum berpendapat bahwa suatu tindakan itu dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Perkataan “eliptis”adalah suatu kata sifat yang berasal dari kata dasar,di dalam bahasa belanda yang menurut van de woestijne mepunyai pengertian sebagai “perbuatan menhilangkan sebagian dari suatu kalimat yang dianngap tidak perlu untuk mendapatkan suatu pengertian yang setepat-tepatnya.[5]
            Simons memberikan pandangan tentang “strafbaar feit” sebagai suatu “staafbaar feit” adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.[6]
            Ini dinyatakan dalam syarat-syarat pokok dari suatu dalil adalah :
a.       Dipenuhinya semua unsur dari dalil seperti yang terdapat dalam rumusan delik;
b.      Dapat dipertanggungjawabkan oleh seorang pelaku atas perbuatanya;
c.       Tindakan dari pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja atau pun dengan tidak sengaja
d.      Pelaku tersebut dapat dihukum
Didalam beberapa rumusan delik kita dapat menjumpai disebutnya beberapa syarat-syarat,tertentu yaitu :
a.       Bahwa cara melakukan suatu tindak pidana atau sarana yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut haruslah memenuhi syarat-syarat tertentu;
b.      Bahwa subjek maupun objek dari suatu tidak pidana itu haruslah mempunyai sifat-sifat tertentu;
c.       Bahwa waktu dan tempat dilakukannya suatu tindak pidana haruslah sesuai dengan syarat – syarat tertentu.
Van der hoeven tidak setuju apabila dikatakan “strafbaar feit”,itu harus diterjemahkan dengan perkataan “perbuatan yang dapat dihukum”, dan dari pasal 10 kitab Undang-Undang hukum pidana dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa yang dapat dihukum itu adalah hanyalah manusia dan bukan perbuatannya.[7]
Kejahatan atau tindak kriminil adalah merupakan salah satu perbuatan menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat.[8]  Termasuk dalam pengertian perbuata ialah perbuatan nyata atau sikap tidak saja dari mereka yang dapat dikualifisir sebagai pelaku¹¹.
            Mr. Satochid Kartanegara yang dikutip oleh PAF lamitang telah menyatakan pendapat dari Van der Hoeven tersebut di atas, dan sebagian terjemahan dari strafbarr feit,tersebut, almarhum telah menngunakan perkataan tindak pidana”[9].
B.     Pidana dan jenis-jenis Pidana
Mengenai stesell pidana Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHP dalam Bab ke-2 dari pasal 43,yang kemudian diatur lebih jauh mengenai hal-hal tertentu dalam beberapa peraturan,yaitu:
1.      Reglemen penjara (Stb 1917 No. 708) yang telah diubah dengan (LN 1948 No. 77)
2.      Ordonasi pelepasan beryarat (Stb 1917 No. 749)
3.      Reglemen pendidikan paksaan (Stb 1917 No. 741).
4.      Undang-undang No.20 tahun 1946 tentang Pidana Tutupan.
KUHP sebagai induk atau sumber utama hukum pidana telah merinci jenis-jenis pidana, sebagaimana dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Menurut stelsel KUHP, pidana dibedahkan menjadi 2 kelompok, antara pidana pokok dengan pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari :
1.      Pidana mati
2.      Pidana penjara
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan. Pengunaan pidana penjara sebagai sarana untuk menghukum para pelaku dimulai pada akhir abad ke-18 yang bersumber pada faham individualisme dan gerakan perikemanusiaan.[10]
3.      Pidana kurungan .
4.      Pidana denda
5.      Pidana tutupan
Pidana tambahan terdiri dari:
1.      Pidana pencabutaan hak-hak tertentu.
2.      Pidana perampasan barang-barang tertentu
3.      Pidana pengumumuman Keputusan Hakim.                                                                    
                Berdasarkan pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok berat ringanya bagi pidana yabg tidak sejenis adalah didasarkan pada urut-urutanya dalam rumusan  pasal 10 tersebut, stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP, mengelompokan jenis-jenis pidana kedalam pidana poko dan pidana tambahan. Adapun perbedaan antara jenis-jenis pidana pokok dengan jenis-jenis pidana tambahan adalah:

1.      Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif), sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif.
Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut Hakim telah terbukti secara sah dan meyakinkan, maka Hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khususnya yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok, sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianngap terbukti adalah keharusan,artinya imperatif.
      Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, dimana dalam rumusan masalah kejahatan maupun pelanggaran hanya ada 2 kemungkinan,ialah (a) pertama diacamkan satu jenis pidana pokok saja(artinya Hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok lainya), (b) kedua,tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, dimana sifatnya adalah alternatif, artinya Hakim harus memilih salah satu saja (misalnya: Pasal 362,Pasal 364 dan Pasal 340 dan lain-lain). Sedangkan untuk menjatuhkan jenis pidana tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif).
      Apabila menurut penilaian Hakim, bagi kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana ytambahan (misalnya pasal 242 ayat 4 yang diancam dengan pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam pasal 35 KUHP) yang didakwakan Jaksa. Penuntut umum telah terbukti, maka Hakim boleh menjatuhkan dan boleh juga tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut.
      Walaupun prinsip dasarnya penjatuhan jeni pidana tambahan itu bersifa fakultatif, akan tetapi ada juga beberapa perkecualinya, dimana penjatuhan pidana tambahan menjadi bersifat imperative,misalnya terdapat pada Pasal 250 bis, 261 dan 267.
2.      Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demekian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan pidana pokok.
Sesuai dengan namanya (pidana tambahan),maka penjatuahan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat dijaTuhkan oleh Hakim,apabila dalam suatu putusanya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok,melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok.
Sedangkan menjatuhkan jenis pidana pokok adalah dapat berdiri sendiri, tanpa harus dengan menjatuhkan jenis pidana tambahan. Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat demekian, ada juga perkecualianya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pokok,akan tetapi bersama tindakan (maan elegen)  seperti pada Pasal 39 ayat(3).
3.      Jenis pidana pokok yang dijatuhkan,bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van  gewijsde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie).
Kecuali apabila pidana yang dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan, misalnya pidana pencabutan hak-hak tertentu sudah berlaku sejak putusan Hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap seperti yang diatur pasal 28 ayat (2). Oleh karena  itu berjalannya/dijalannya putusan antara jenis pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat (2) tidak sama
Dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Pidana itu pada hakikatnya merupakan merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan
2.      Pidana itu diberikan dengan sengaja  oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang.
3.      Pidana itu dikenakan kepada seorang atau badan hukum (koporasi) yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Perwujudan sauatu sanksi pidana dapat dilihat sebagai suatu proses perwujudan kebijakan melalui tiga tahap:
1.      Tahap penetapan pidana oleh pembuat undang-undang
2.      Tahap pemberian atau penjatuhan pidana oleh pengadilan
3.      Tahap pelaksanaan pidana oleh aparat eksekusi pidana[11].
Sifat-sifat jenis pidana tambahan sebagaimana telah disebutkan di atas, ada lagi sifat jenis pidana pokok yang merupakan prinsip dasar pidana pokok, ialah tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pertimbangan pembentuk Undang-Undang, sebagaimana dijelaskan dalam Memorie van Teolichting (MvT) Wvs Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan, karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda.
C.     Tinjauan lembaga jaminan
Jaminan merupakan tanggungan yang diberijkan oleh debitor atau pihak ketiga kepada kreditor mempunyai satu kepentingan bahwa debitor harus memilih kewajiban dalam suatu perikatan.
Selain jaminan yang ditujuk undang-undang memungkinkan para pihak untuk melakukan perjanjian penjaminan yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau pelaksanaan kewajiban debitor kepada kreditor. Contohnya adalah hipotek, fidusia, gadai, perjanjian penanggungan, perjanjian garansi dan lain-lain[12].
Pengaturan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebenarnya tidak menyebutkan adanya diberikan kepada debitor, namun oleh karena pemberian kredit yang akan diberikan kepada debitor, namun oleh karena pemberian kredit merupakan hal yang mengandung risiko, maka dalam kenyataanya tidak akan ada bank yang mau memberikan pinjaman tanpa jaminan ini. Jaminan didefenisiskan sebagai: ” tanggungan yang diberikan oleh debitor atau pihak ketiga kepada kreditor karena pihak kreditor mempunyai suatu kepentingan bahawa debitor harus memenuhi kewajiban dalam suatu perikatan”.[13]
Istilah hukum jaminan merupakan terjemhan dari security of law, zekerheidstelling, atau zekerheidsrehten.[14] Istilah hukum jaminan meliputi jaminan kebendaan mampu perorangan. Dari dua pendapat perumusan pengertian jaminan di atas dapat disimpulkan inti dari hukum jaminan adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan hukum antara pemberi jaminan atau debitor dengan penerima jaminan atau debitor dengan penerima jaminan, Jaminan kebendaan meliputi utang-piutang yang disewakan, gadai, dan hipotek. Sedangakan jaminan perorangan, yaitu penanggungan utang (borgtocht).
Sehubungan dengan pengertian,beberapa pakar merumuskan pengertia umum mengenai jaminan hukum jaminan. Pengertian itu anatara lain menurut Satrio yang dikutip Subekti, hukum jaminan adalah peraturan hukum yang mengatur tentang jaminan utang-piutang seorang kreditur terhadap seorang debitur. Intinya hukum jaminan adalah hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seseorang[15]. Di samping itu, Salim HS yang dikutip Vanplur juga memberikan perumusan tentang hukum jaminan, yaitu Keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan antara pemberi jaminan dan penerima jaminan kaitannya dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.[16]
  Keputusan seminar Hukum jaminan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum nasional Departemen Kehakiman bekerja sama dengan Fakultas Hukum UGM, tanggal 9-11 Oktober 1978, di Yogyakarta, atau kreditur sebagai: “Pembebanan suatu hutang tertentu atau kredit dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu).”[17]
Berdasarkan pengertian di atas, unsur-unsur yang terkandung di dalam perumusan hukum jaminan, yakni sebagai berikut.
1.      Serangkain ketentuan hukum, baik yang bersumberkan kepada ketentuan hukum yang tertulis dan ketentuan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan, termasuk yuripusensi, baik itu berupa peraturan yang derivative (turunan). Adapun ketentuan hukum jaminan yang tidak tertulis adalah ketentuan hukum yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan pembebanan utang suatu jaminan.
2.      Ketentuan hukum jamian tersebut mengatur mengenai hubungan hukum antara pemberi jaminan (debitor) dan penerima (kreditur). Pemberi jaminan yaitu pihak yang berutang  dalam suatu kebendaan tertentu sebagai (benda) jaminan kepada penerima jaminan (kreditur). Adanya jaminan yang diserahkan oleh debitor kepada kreditur. Pemberian dilakukan oleh pemberi jaminan dimaksudkan sebagai jaminan (tanggungan) bagi pelunasan utang tertentu.
3.      Sumber dan Sistem Hukum Jaminan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[18]
sumber hukum adalah tempat dimana ditemukan hukum. Dalam hal ini, hukum jaminan bersumber dari kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagai terjemahan dari Burgerlijk Wetboek merupakan kodifikasi hukum perdata material yang diberlakukan pada tahun 1848 berdasarkan asas konkordasi.
Ketentuan hukum jaminan dapat dijumpai dalam buku II kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai lembaga dan ketetuan hak jaminan dimulai dari Titel Kesembilan Belas sampai dengan Titel Dua Puluh Satu, pasal 1131 sampai dengan Pasal 1232. Dalam pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut diatur mengenai piutang-piutang yang diistemewakan, gadai, dan hipotek. Secara rinci materi kandungan ketentuan-ketentuan hukum jaminan yang termuat dalam buku II Kitab Undang – Undang Hukum Perdata tersebut, sebagai berikut:
a.       Bab XIX: Tentang Piutang-Piutang Diistimewakan (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1149); Bagian kesatu tentang Piutang-Piutang yang Diistemewakan Pada Umumunya (Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138);
b.      Bagian Kedua tenatang Hak-Hak Istimewa mengenai Benda-Benda Tertentu (1139 samapai dengan Pasal 1148); Bagian ketiga atas Semua Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak Pada Umumnya(Pasal 1149);
c.       Bab XX: Tentang Gadai (Pasal 1150 sampai dengan Pasal  1160, Pasal 1161 dihapuskan).
d.      Bab XXI: Tentang Hipotek (Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1162 dengan Pasal 1178); Bagian kedua tentang Pembukuan-Pembukuan Hipotek serta Bentuk Cara Pembukuannya (Pasal 1179 sampai dengan Pasal 1194); Bagian Ketiga’ tentang Pencoretan Pembukuan (Pasal 1195 sampai dengan 1197); Bagian Keempat tentang Akibat-Akibat Hipotek (1209 sampai dengan pasal 1220).
Tangggung jawab Pegawai-Pegawai yang ditugaskan Menyimpan Hipotek dan Hal Diketahuinya Register-Register oleh Masyrakat (Pasal 1221 sampai dengan 1232). Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, maka pembebanan hipotek atas hak tanah besrta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak lagi menggunakan lembaga dan ketentuan hipotek sebagaimana diatur dalam pasal 1162 sampai dengan 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sementara itu pembebanan hipotek atas benda benda tidak bergerak lainnya selain hak atas tanah besrta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, hipotek kapal laut misalnya, tetap mengunakan lembaga dan ketetuan-ketentuan hipotek sebagaiman diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selain mengatur hak jaminan kebendaan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Diatur pula mengenai jaminan hak perseorangan, yaitu penangugan utang (borghtocht) dan perikatan tanggungan-menanggung. Jaminan hak perseorangan ini diatur “,yaitu pada Titel Ketujuh Belas dengan judul “Penanggungan Utang”, yang dimulai dari Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850.
Asas pemberian jaminan jika ditinjaudari sifatnya terdiri atas:
1.         Jaminan yang bersifat umum, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitor pada setiap kreditor, hak-hak tagihan mana tidak mempunyai hak saling mendahului(konkuren) antara kreditor yang satu dengan kreditor lainnya.
2.         Jaminan yang bersifat khusus, yaitu jaminan yang diberikan oleh debitor kepada kreditor,hak-hak tagihan mana mempunyai hak mendahului sehingga berkedudukan sebagai kreditor privelege (hak preverennt).
Keberadaan jaminan kredit merupakan persyaratan guna memeperkecil risiko bank dalam menyalurkan kredit. Pada  prinsipnya, sebenarnya jaminan bukanlah merupakan suatukewajiban bagi debitor, sebab jenis usaha dan peluang bisnis yang dimiliki pada dasarnya merupakan jaminan pada bank. Hanya saja jika bank memberikan kredit pada debitor tanpa adanya jaminan, maka dapat dipastikan bahwa bank akan mengalami risiko yang sangat besar. Apalagi jika usaha yang dibina mengalami kegagalan, sangat berpengaruh kepada peluang bank atas pengembalian dana yang dipinjamkan kepada debitor.
Salah satu hal yang mesti diperhatikan oleh kredidur dalam memberikan kredit misalnya apakah kelak nanti eksekusi jaminan hutang dapat berjalan lancer. Hal ini mesti disadari saat peluncuran kredit itu sendiri. Memperlancar kepetingan nasabah terhadap bank, jaminan ini dapat dijadikan salah satu alat. Karenanya jaminan tersebut haruslah diadakan pengikatannya dan jaminan tersebut haruslah diadakan pengikatannya dan jaminan tersebut jika perlu harus dapat dieksekusi.²²
Berdasarkan pentingnya jaminan dalam penggikatan kredit, maka nilai dan legalitas keyakinan merupakan jaminan yang dipegang bank harus cukup untuk menjamin fasilitas kredit yang diterima nasabah. Barang-barang yang dikuasai atau diikat secara yuridis dengan perjanjian kredit, baik di bawah tangan maupun dengan akte notaries.
Kegunaan jaminan adalah:
1.            Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasaan barang-barang jaminan tersebut bila nasabah cidera janji, tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian.
2.            Menjamin agar nasabah berperan-serta dalam transaksi pembiayaan usahanya sehinnga kemunkinan untuk menggalkan usahanya atau proyeksi dengan merugikan diri sendiri atau perusahanya dapat dicegah.
3.            Memberi dorongan kepada debitor untuk memenuhi perjanjian kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai syarat-syarat yang telah disetujui agar ia tidak kehilanggan. Hak miliknya atas barang yang dijaminnya kepada bank.
D.    Tinjauan Jaminan Fidusia
Lembaga jaminan yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang telah lama diakui, misalnya lembaga jaminan fidusia, gadai, (pand), hak tanggungan dan lain-lain. Penerapan lembaga jaminan ini didasarkan atas pembedaan jenis-jenis benda yang akan dijaminkan yaitu benda bergerak dan benda tak bergerak. Dasar hukum dari ketentuan tersebut terdapat dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Sedang Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang gadai dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUTH).[19]
Lembaga fidusia muncul dikarenakan ketentuan Undang-Undang yang mengatur tentang lembagai gadai (pand) mengandung banyak kekurangan,tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapatr mengikuti perkembangan masyarakat. Pengalihan hak kepemilikan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia seperti tersebut di atas dilakukan dengan cara constitutum possessorium (verklaring van houderschap), artinya pengalihan hak kepemilikan atas suatu benda dengan melajutkan penguasaan atas benda tersebut yang berakibat bahwa pemberi fidusia seterusnya akan menguasai benda dikmasud untuk kepetingan penerima jaminan fidusia(penerima fidusia)[20].
Fidusia dianggap sebagai jaminan yang lebih cocok bagi bank ataupun nasabahnya untuk barang bergerak, karena debitor tidak perlu repot-repot menyediakan tempat menyimpan dan merawat barangnya. Pada pengikatan kredit dengan jaminan fidusia,barang tidak diserahkan pada kreditor tetapi masih dalam kekuasan debitor,dibayar lunas oleh debitor, maka hak milik barang berpindah untuk sementara waktu kepada kreditor.
Perjanjian fidusia dilakukan dalam bentuk tertulis atau biasanya dituangkan dalam akta notaries. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk melindungi dan memudahkan bagi kreditor dalam membuktikan bahwa telah ada suatu penyerahan hak kepemilikan terhadap debitor. Perjanjian penyerahan hak milik secara fidusia atau yang sering kita sebut dengan akta jaminan fidusia yang memuat janji-janji khusus antara debitor dan kreditor. Dalam akta tersebut berisi tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak (kreditor dan debitor).[21] Kemudian dengan bantuan notaries, benda yang dibebani dengan jaminan fidusia akan didaftrarkan atas penerima fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada dalam lingkungan tugas Departemen Hukum dan Hak Azasi.
Debitor mempunyai kewajiban untuk melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan barang jaminan yang bersangkutan. Laporan tersebut dilaksanakan guna untuk mencegah hal-hal yang merugikan kreditor. Hal ini mengingat bahwa barang jaminan masih berda di tangan debitor. Begitu juga sebaliknya, kreditor akan dibatasi kewenangannya dalam penguasaan barang yang bersangkutan.
Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan ketentuan benda tersebut tetap dalam penguasaan si pemilik. Undang-Undang yang telah dirumuskan tentang fidusia ini adalah Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan pengertian dari fidusia yaitu: “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan bahwa yang hak kepemilikannya tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda”.
Jaminan fidusia ini mengatur ketentuan bagi seseorang atau badan hukum untuk menjaminkan barangnya tanpa menyerahkan fisiknya sama sekali. Sementara peraturan yang ada hanya memuat ketentuan adanya penyerahan benda pada gadai, atau hak tanggungan yang hanya menjadikan benda tidak bergerak sebagai obyek.
E.     Obyek Jaminan Fidusia
Pada surat ederan Bank Indonesia No. 4/428/UUPK/PK tanggal 16 maret 1972 yang menyebutkan bahwa untuk benda-benda bergerak dipakai jaminan fidusia atau gadai, dengan demekian jelaslah bahwa yang diterima sebagai jaminan dalam fidusia adalah benda-benda yang bergerak. Namun demekian terdapat perbedaan antara benda jaminan fidusia dengan benda jaminan gadai. Benda gadai berada dalam kekuasaan debitor, sedang pada perjanjian fidusia, benda jaminan tetap dalam kekuasaan kreditor.[22]
Undang-Undang Jaminan Fidusia menjelaskan beberapa benda yang dapat dijadikan sebagai obyek jaminan fidusia, yang akan tersebar dalam beberapa pasal Ketentuan tersebut antara lain terdapat Pasal 1 angka (4), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20. Benda-benda obyek jaminan fidusia tersebut adalah:
13.           Benda tersebut harus dapat memilih dan dialihkan secara hukum
14.           Dapat atas benda berwujud.
15.           Dapat juga atas benda tidak berwujud,termasuk piutang
16.           Dapat bergerak
17.           Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan Hak Tanggungan
18.           Bendfa tidak bergerak yang tidak dapat dikaitkan dengan hipotik
19.           Baik atas benda yang sudah ada maupun terhadap benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam hal ini benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri.
20.           Dapat atas suatu satuan atau jenis benda
21.           Dapat juga atas lebih dari sutu jenis atau satuan benda
22.           Termasuk hasil benda yang telah menjadi obyek fidusia
23.           Termasuk juga hasil dari benda yang telah menjadi obyek jaminan fidusia.
24.           Benda persediaan (inventory, stock perdangangan) dapat juga menjadi obyek fidusia
Obyek benda jaminan fidusia adalah benda apapun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya. Benda ini dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar ataupun tidak terdaftar bergerak maupun tidak bergerak dengan syarat bahwa benda tersebut tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.[23]
Praktiknya barang-barang yang diserahkan sebagai jaminan fidusia adalah benda-benda/barang-barang yang secara sosial ekonomi dapat menunjang kelancaran jalannya suatu usaha/perusahaan. Barang-barang tersebut seperti kendaraan bermotor, stok barang dagangan, inventaris dan lain sebaliknya. Dan hal ini tidak dapat berakibat terhambatnya kegiatan usaha karena penyerahan barang jaminan dalam fidusia dilakukan secara constitutum possessorium, artinya barang yang diserahkan sebagai jaminan kredit tetap dalam berada dalam kekuasaan pihak yang menjamin/debitor. Karena yang diserahkan adalah hak miliknya, maka penguasaan/penggunaan barang jaminan tersebut oleh debitor hanyalah dalam kepastianya sebagai peminjam pakai.[24]
Sebagaimana Lembaga jaminan, seperti halnya dengan hipotik dan creditverband dan gadai, fidusia pun merupakan perjanjian ascessoir, sehingga sebelum diadakan perjanjian fidusia, terlebih dahulu harus ada perjanjian pokoknya, dalam hal ini adalah Perjanjian Kredit Pengakuan Hutang.
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia:
(1)         Dalam hal basil eksekusi melebihi nilai penjaminan, Penerima Fidusia wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada Pemberi Fidusia.
(2)         Apabila  basil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang debitur tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayar.
Model-model eksekusi Jaminan Fidusia menurut Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut:
a.       Secara fiat eksekusi (dengan memakai title eksekutorial), yakni lewat suatu penetapan pengadilan.
Fiat eksekusi merupakan ekskusi yang dilaksanakan oleh lelang setelah ada persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri berupa penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat.
b.      Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan pengadilan) di depan pelelangan umum.
c.       Dijual dibawah tanggan oleh pihak kreditor sendiri.
F.      Pelanggaran-Pelanggaran Dalam Perjanjian Fidusia
Perjanjian kredit yang dilakukan oleh perbankan, pihak bank harus bertindak hati-hati dengan memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu dengan memperhatikan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang  diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum mengucurkan kreditnya pihak bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha pihak calon nasabah.
Pengertian fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah Pengalihan Hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Berdasarkan defenisi tersebut, ada 3 (tiga) ciri fidusia yaitu:
1.      Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;
2.      Atas dasar kepercayaan;
3.      Benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Setiap benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Adapun pihak penerima fidusia (kreditur) atau kuasa atau wakilnya. Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat jaminan fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerima permohonan pendaftaran permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Tanggal pencatatan jaminan fidusia pada Buku Daftar Fidusia adalah dianggap sebagaimana tanggal lahirnya Jaminan fidusia.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam implementasinya masih terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia). Pelanggaran-Pelanggaran hukum baik yang dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur (pemberi fidusia). Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan oleh pihak kreditur adalah sebagai berikut:[25]
1.      Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia
Pelangaran ini biasanya dilakukan oleh Bnak Perkreditan Rakyat (BPR) maupun bank umum untuk nilai pinjaman kecil.[26] Dalam hal ini pihak bank sudah siap menanggung resiko jika terjadi kredit macet. Lembaga Pembiayaan (finance) juga banyak yang tidak mendaftarkan jaminan fidusianya dengan alasan demi efisiensi dalam menghadapi persaingan dengan lembaga pembiayaan lainya.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sudah mengatur bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tentang Jaminan Fidusia tidak berlaaku, dengan kata lain untuk berlakunya, ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang jaminan fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan.
Konsekuensi lain dengan tidak didaftarkannya suatu obyek jaminan fidusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa langsung melakukan eksekusi  terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan secara perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPPerdata). Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia.
2.      Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.
Pelanggaran ini masih banyak dilakukan oleh lembaga (Finance) dengan alasan sebagaimana telah dikemukakan diatas. Pada saat debitur mulai wanprestasi, perusahaan finance baru mendaftarkan obyek  jaminan fidusia dalam rangka untuk memenuhi persyaratan untuk melakukan eksekusi terhadapa obyek jaminan fidusia. Pemicu tindakan lembaga finance ini dikarenakan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak diatur ketentuan mengenai daluarsa pendaftaran jamnian fidusia sehingga Kantor Pendaftaran Fidusia tidak punya alasan untuk menolak pendaftaran fidusia yang diperjanjian kreditnya sudah ditandatangani dalam waktu yang lama (biasanya 2-3 tahun sebelum didaftarkan).
Walaupun tidak ada aturan mengenai daluarsa pendaftaran jamina fidusia, namun dalam Pasal 14 sub 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah diatur bahwa jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana tercatat dalam Buku Daftar Fidusia. Oleh sebab itu, apabila ada perjanjian kredit yang dibuat beberapa tahun yang lalu namun pendaftaran jaminan fidusianya baru dilakukan belakangan maka berlakunya jaminan fidusia itu adalah pada saat didaftarkan bukan pada saat perjanjian kredit ditandatangani atau pada saat penandatanganan akta notariil. Konsekwensinya adalah peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi sebelum pendaftaran jaminan fidusia tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.[27]
3.      Perjanjian yang diikat dengan jaminan fidusia namun obyeknya bukan merupakan obyek cerminan fidusia, seperti misalnya hak sewa, hak pakai maupun sewa beli (leasing).
Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan kreditur terhadap aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan obyek sewa-menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan sehingga bukan merupakan obyek jaminan  fidusia sehingga tidak dapat didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Karena bukan merupakan obyek jaminan fidusia, maka apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak mempunyai hak preferen dan tidak dapat melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
4.      Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang tidak sesuai ketentuan pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
Apabila debitur wanprestasi dengan tidak melunasi Hutangnya sesuai yang diperjanjikan, maka dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia guna pelunasan hutang tersebut. Dalam pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diatur mengenai cara melakukan eksekusi yaitu:
1.         Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
Dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BEDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksetorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
2.         Penjualan benda obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum,
3.         Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia untuk memperoleh harga tertinggi yang mengutungkan kedua belah pihak.
Dalam hal eksekusi dilakukan dengan penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan setelah lewat waktu 1 (tahun) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar oleh lembaga pembiayaan (finance) dalam  melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan. Biasanya Finance akan menguanakan jasa debt collector langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan kemudian oleh finance akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi relasinya. Hasil penjualan tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa atau masih ada kekurangan dibandingkan dengan hutang debitur. Terhadap eksekusi yang bertentangan dengan ketetentuan Pasal 29 Undang-Umdang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia berakibat eksekusi tidak sah sehingga pihak pemberi fidusia (debitur) dapat mengugat untuk pembatalan.
Selain dilakukan oleh pihak kreditur, pelanggaran hukum terhadap ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia juga dapat dilakukan oleh pihak debitur. Pelanggaran- pelanggaran yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut:
1.      Debitur menjamin lagi obyek jaminan fidusia (Fidusia ulang)
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek jaminannya tetap dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikan telah”beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur) sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia maka hak yang didahulukan sebagaimana dikmasud dalam Pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia(Pasal 28).
2.      Pemberi fidusia (debitur) mengadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Tindakan ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari perusahaan finance untuk pembelian kendaraan bermotor, dimana hutangnya belum lunas tapi kendarannya telah digadaikan secara di bawah tangan kepada pihak ketiga.
Terhadap perbuatanya tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah mengatur ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikaan atau mengalihkan obyek jamiann fidusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
3.      Debitur mengubah dan atau megganti isi benda yang menjadi obyek jaminan sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya mengganti onderdil kendaraan bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
Perbuatan debitur tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan fidusia “beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia(kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia(kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya “dianggap sebagai penyewa” yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan memakai obyek jaminan yang diuasainya dengan baik.
Unsur- unsur perbuatan pidana sebagai berikut:[28]
a.       Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b.      Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c.       Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d.      Unsur melawan hukum yang subyektif
e.       Unsur melawan hukum yang obyektif
Namun demekian dengan tidak adanya keseragaman pandangan dan defenisi yang kurang lengkap menurut pandangan dualistik tentang uraian delik, maka unsur- unsur suatu delik, maka unsur–unsur suatu delik pada umumnya sebagai berikut:
1.         Perbuatan aktif atau pasif
2.         Akibat(hanya pada delik materil)
3.         Melawan hukum formil dan materil
4.         Keadaan menyusul atau kedaan tambahan
5.         Keadaan yang secara obyektif yang memperbaiki pidana
6.         Tidak ada dasar pembenar dan dasar pemaaf
Adapun penjelasan unsur-unsur adalah sebagai berikut:
1.            Perbuatan aktif dan pasif
Suatu perbuatan yang dikatakan perbuatan aktif dan pasif apabila perbuatan itu dilakukan  tanpa disadari walaupun dirangkum oleh suatu aturan hukum yang tertulis maupun tidak tertulis belumlah merupakan straf baar hadling (perbuatan pidana) jika tidak dipandang suatu perbuatan tercela dan buruk menurut manusia umumnya.
Andi Zainal Abidin Farid berpendapat sebagai berikut; “jadi Jadi Suatu perbuatan aktif atau pasif  barulah dikatakan perbuatan melawan hukum apabila bertentangan dengan undang-undang dan juga bertentangan dengan perasaan keadilan masyarakat dengan kata lain bertentangan dengan hukum yang tertulis dan tidak tertulis.”
2.         Akibat (hanya pada delik materil)
Akibat hanya pada delik materil adalah akibat tertentu di dalam delik sehingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sendiri tidak mudah memberikan kaidah atau pentunjuk tentang cara penentuan akibat pada pembuat delik. Andi Zainal Abidin Farid menyatakan sebagai berikut: Hanya menentukan dalam beberapa pasal, bahwa untuk delik –delik tersebut diperlukan adanya suatu akibat tertentu guna dapat menjatuhkan pidana terhadap pembuatnya.[29]
3.            Melawan Hukum Formil dan Materil
Melawan hukum formal adalah merupakan unsur dari pada hukum positif tertentu saja. Sehingga ia merupakan unsur tindak pidana dan materil itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materil adalah melawan hukum dalam arti luas dimana sebagai suatu unsur yang tidak hanya melawan hukum tertulis saja. Suatu tindakan pidana pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum.
Secara formil, maka teranglah bahwa perbuatan yang dilarang oleh undang – undang atau perbuatan yang melanggar perintah di dalam Undang-Undang, karena bertentangan apa yang dilarang oleh atau yang diperintahkan dalam undang-undang.
4.            Keadaan yang menyusul atau keadaan tambahan
Di katakan yang menyusul apabila perbuatan itu merupakan pemufakatan jahat dan terlaksanaan adanya pelaporan pada yang berwajib. Terkadang dalam rumusan perbuatan pidana tertentu dijumpai adanya ikhwal tambahan yang tertentu pula. Misalnya dalam Pasal 164, Pasal 165 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah kewajiban untuk melaporkan kepada pihak berwajib. Jika mengetahui terjadinya suatu kejahatan, kalau kejahatan betul-betul terjadi, maka kejahatan itu merupakan unsur tambahan.
5.            Pasal 351 ayat(1) dan (2) Pasal 352(1) dan (2), dan Pasal 354(2) KUHP. Keadaan mana yang tidak dikehendaki tetapi secara obyektif
Secara obyektif memperat pidana adalah terletak pada keadaan obyektif pembuat delik. Apabila penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati. Tentang luka berat dilihat pada Pasal 90 KUHP
6.            Tidak adanya dasar pembenar dan dasar pemaaf
Alasan pembenar, dimana sifat melawan hukum perbuatan hapus danm tidak terbukti, sehingga terdakwa harus dibebaskan oleh Hakim ;
a.       Alasan pemaaf yaitu perbuatan pidana sudah terbukti unsur – unsur semuanya, namun unsur kesalahan tidak ada pada pembuat dalam hal ini sebaiknya terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.





BAB III
HASIL PENELITIAN DAN BAB PEMBAHASAN
A.    Ketetentuan Hukum Terhadap Pelangaran Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia
Ada beberapa perbedaan yang lain antara perjanjian dan perjanjian hutang piutang, yaitu terletak pada sifat perjanjian tersebut. Perjanjian kredit bersifat konsensuil sedang perjanjian hutang piutang bersifat riil. Riil berarti: “bahwa perjanjian baru ada setelah uang yang dipinjamkan dalam perjanjian kredit diserahkan secara nyata kepada debitor”.[30]
Kejahatan terhadap penjaminan fidusia dapat dilakukan bentuk penggelapan atau pencurian. Ada bebrapa perbedaan antara pengelapan dengan pencurian.
Perbedaan itu adalah:
A.    Tentang perbuatan materiilnya. Pada Pengelapan adalah perbuatan memiliki, pada pencurian adalah mengambil Pada pencurian ada unsur memiliki, yang berupa unsur memiliki, yang berupa unsur subjektif. Pada pengelepan unsur memiliki adalah unsur tingkah laku, berupa unsur objektif. Untuk selesainya pengelapan disyaratkan pada selesai terwujudnya perbuatan memiliki, sedang pada pencurian pada perbuatan mengambilnya, bukan pada unsur memiliki.
B.     Tentang beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak. Pada pencurian, benda tersebut berada di tangan/kekuasaan petindak akibat dari perbuatan mengambil, berarti benda tersebut berada dalam kekuasaannya karena suatu kejahatan (pencurian). Tetapi pada pengelapan tidak, benda tersebut berada dalam kekuasaanya karena perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum.
Pelangaran-pelangaran ini yang sering dilakukan oleh pihak debitor biasanya diketahuii, apabila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya membayar cincin dalam kurun waktu tertentu, misal dua bulan/tiga bulan menunggak cicilan. Meskipun biasanya apabila terlambat dari batas tanggal jatuh tempo pembayaran cicilan biasanya pihak perusahaan akan melakukan penagihan via telepon maupun oleh kolektor lapangan langsung ke rumah debitor.
Perbuatan terdakwa dalam mengalihkan objek jaminan fidusia tanpa izin merupakan tindakan melawan hukum. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan Pasal 50, Pasal 51 KUHP. Sifat dari melawan hukum itu sendiri meliputi:
a.       Sifat formil yaitu bahwa perbuatan tersebut diatur oleh undang-undang.
b.      Sifat materiil yaitu bahwa perbuatan tersebut tidak selalu harus diatur dalam masyrakat.
Perbuatan melawan hukum dapat dibedakan menjadi:
a.       Funsi negative yaitu mengakui kemungkinan adanya hal-hal diluar undang-undang dapat menghapus sifat melawan hukum suatu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang.
b.      Fungsi positif yaitu mengakui bahwa suatu merupakan tindak pidana meskipun tidak dinyatakan diancam pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau aturan-aturan yang ada di luar undang-undang.
Sifat melawan hukum untuk yang tercantum dalam undang-undang secara tegas haruslah dapat dibuktikan. Jika unsur melawan hukum dianggap memiliki fungsi positif untuk suatu delik maka hal itu haruslah dibuktikan. Jika unsur melawan hukum dianggap memiliki fungsi negatif maka hal itu tidak perlu dibultikan.[31]
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana diatur dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan obyek jaminannya tetap dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas obyek jaminan fidusia dikmasud hak kepemilikanya telah “beralih”dari pemberi fidusia(debitur) kepada penerima fidusia (kreditur) sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian fidusia maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkanya di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Tetapi pada tahap ini biasanya pihak perusahaan belum melakukan tindakan apa-apa, hanya baru memberikan denda selama waktu pembayaran melebihi batas jatuh tempo yang dihitung perhari dengan perhitungan yang telah ditentukan berdasrkan dari jumlah cicilan.
Sedangkan bagi debitor yang telah menuggak selama tiga bulan berturut-turut, maka pihak perusahaan, biasanya mencatumkan klausula bahwa dengan persetujuan atau tanpa persetujuan debitor berhak untuk mengambil secara paksa kendaraan yang menjadi jaminan, karena berdasarkan perjanjijan sewa beli tindakan tersebut adalah hasil dari kesepakatan bersama antara kreditor dan debitor.
Jaminan Fidusia wajib didaftarkan, dan bilamana jaminan fidusia itu tidak didaftarkan maka benda itu bukan benda jaminan. Benda jaminan hutang dan bukan benda jaminan fidusia. Sebagai jaminan hutang, maka yang berlaku tentunya hukum perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata.
Dan untuk mengambil barang tersebut dari tangan debitor lali, maka harus melalui gugatan perdata. Dalam kenyataanya, banyak Finance atau lembaga-lembaga keuangan ketika mengadakan perjanjian hutang piutang (ala fidusia) sering melengkapi perjanjian itu dengan Surat Kuasa Pengambilan barang jaminan. Hal ini untuk mempermudah atau menghindari proses gugatan.
Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana menyebutkan jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
1.         Barang siapa dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan.
2.         Ketentuan Pasal 365 ayat kedua(2),ketiga(3)dan keempat(4) berlaku bagi kejahatan ini.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakuakan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Salah satu contoh terdapat pada Putusan Mahkamah Agung Putusan No. 2120 K/Pid.Sus/2010. Dengan perjanjian Fidusia yang telah didaftarkan sesuai dengan sertifikat Jaminan Fidusia Nomor W 10-7558 HT 04 .06 tahun 2008 (STD) tanggal 10 juli 2008. Bahwa berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen tertanggal 27 Desember 2007 Nomor 013 1.01. 000 6728/08 dengan nilai penjamin sebesar Rp.18.000.000,- ( delapan belas juta rupiah ) dan dalam perjanjian tersebut telah disetujui 36 (tiga puluh enam) bulan /angsuran dan berakhir pada tanggal 28 desember 2010 dengan angsuran Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah) tiap bulan dengan jatuh tempo tiap tanggal 28 bulam berikutnya.
Terdakwa selaku pemberi kuasa mulai angsuran ketiga ( tanggal 28 Maret 2008 ) sudah tidak pernah mengansur sudah sebelas kali angsuran terhitung mulai bulan April 2008 samapai bulan Januari 2009. Tanpa memberitahukan dan seijin pihak penerima Fidusia yaitu PT. SAF sepeda motor merk Honda Revo warna biru No.Pol.AG 4427 KT Nosin HB62E-1268521, Noka MHIHB62188K272070 telah dijual lepas kepada saksi Rumaji dengan harga Rp4.000.000,- ( empat juta rupiah). Berikut STNKnya tanpa BPKB lewat saksi Samidi. Perbuatan terdakwa diancam dan dipidana dalam pasal 23 ayat (2) Jo. 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk menundudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi,termasuk rugi waktu dan pemikiran.
Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan Fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan customer service yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman. Bayangkan, jaminan fidusia harus dibuat dihadapan notaris sementara lembaga pembiayaan melakukan perjanjian dan transaksi fidusia dilapangan dalam waktu yang relatif cepat.[32]
 Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada obyek barang yang dibebanin jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll,atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancer saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyrakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industry keuangan, kususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalan praktek jaminan fisuia dengan akta dibawah tangan. Bilamana Lembaga Pembiayaan (leasing) tidak mendaftarkan Jaminan Fidusia pada instansi yang berwenang, sekalipun telah memperoleh kuasa dari pemberi fidusia untuk mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud, maka apabila terjadi pengalihan,menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahului dari Penerima Fidusia adalah termaksud dalam lingkup perkara perdata. Kalau sipemegang gadai membutuhkan uang tunai, sedang si pemilik barang belum mau menebus barangnya, maka sipemegang gadai berhak untuk mengalihkan (overdragen) hak gadai kepada orang lain secara menerima pembayaran uang tunai dari seorang ketiga, asal saja kepada sipemberi gadai diberitahukan hal pengaliha ini.[33]
Tetapi apabila Jaminan Fidusia dikmasud telah didaftarkan pada instansi yang berwenang, maka apabila terjadi pengalihan, mengadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, maka Pemberi Fidusia dapat dijerat dalam perkara pidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tantang Jaminan Fidusia yang menyebutkan:
Pemberi Fidusia yang mengalihkan, mengadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia sebagaiman dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa perstujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidan dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun danm denda paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
Dalam praktik juga tidak jarang terjadi Lembaga Pembiayaan (Leasing) mengatakan kepada Pemberi Fidusia yang lagi macet pembayaran, bahwa benda Jaminan tersebut telah dipasang dan/atau didaftrakan, akan tetapi Lembaga Pembiayaan (Leasing) dimaksud tidak memperlihatkan Sertifikat Jaminan Fidusia, sehingga bagi orang awam hal tersebut kadang menjadikan momok dan menakut-nakuti saja, padahal bila Jaminan Fidusia tersebut tidak didaftarkan pada instansi yang berwenang, maka murni permasalahan tersebut hanyalah merupakan masalah keperdataan saja, tidak ada kaitanya dengan permasalahan pidana
Beberapa kesalahan yang dilakukan debitor dalam pelaksanaan fidusia, antara lain:
1.      Pemberi fidusia (debitur) mengadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek jaminan fidusia ytanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Tindakan ini biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari perusahaan finance untuk pembeliaan kendaraan bermotor, dimana hutangnya belum lunas tapi kendaraannya telah digadaikan secara dibawah tangan kepada pihak ketiga. Terhadap perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur ancaman pidana bagi debitur pelaku.
2.      Debitur mengubah dan atau mengganti isi dari benda yang menjadi obyek jaminan sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya menganti onderdil kendaraan bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
Perbuatan debitur tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatangganinya perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek jaminan fidusia telah “beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya “diangap sebagai penyewa” yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memlihara dan memakai obyek jaminan yang dikuasainya dengan baik.
            Dalam hal debitor wanprestasi, maka benda persediaan yang telah menjadi jaminan bagi pelunasaan hutang kepada kreditor diserahkan kepada kreditor (Pasal 30 UUJF) dengan syarat bahwa apabila ada benda persediaan yang telah dialihkan oleh debitor, terlebih dahulu wajib diganti dengan nilai yang setara oleh debitor, sebab kreditor tidak menangung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian debitor baik yang timbul dalam hubungan kontraktual atau yang timbul darin perbuatan melawan hukum sehubungan dengan pengunaan dan pengalihan benda yang dijadikan obyek jaminan fidusia ( Pasal 24 UUJF).
            Bedarsarkan Pasal 5 ayat (1) UUJF, perjanjian pengikatan jaminan atas benda bergerak harus dibuat dengan akta notaris dan selanjutnya berdasarkan Pasal 11 ayat (1), akta jaminan yang dibuat secara notariil tersebut wajib didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Dengan begitu, perjanjian pengikatan jaminan dengan bentuk akta notaris adalah merupakan syarat mutlak bagi pengikatan benda bergerak yang dijadikan jaminan kredit.
            Pembebanan Fidusia dilakukan dengan mengunakan instrumen yang disebut denagan Akta Jaminan Fidusia, yang harus memenuhi syarat-syarat yaitu berupa Akta Notaris dan didaftarkan pada Pejabat yang berwenang. Dengan pendaftaran ini diharapkan agar pihak debitor, terutama yang nakal, tidak dapat lagi mengibulin kreditor atau calon kreditor dengan memfidusiakan sekali lagi atau bahkan menjual barang  Obyek Jaminan Fidusia tanpa sepengetahuan kreditor asal diKantor Pendaftaraan Fidusia yang berada dibawah nauangan Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia. Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai bukti bahwa penerima Fidusia memiliki hak Fidusia tersebut.[34]
            Sertifikat jaminan fidusia maka kreditor/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung ( parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Apabila ketetuan pengikatan atau pembebanan jaminan benda bergerak sebagaimana dimaksud Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) UUJF diikuti, maka pihak penerima fidusia mempunyai hak untuk didahulukan (preferent) atas pemenuhan pembayaran piutangnya dari kreditor-kreditor lainya.  
            Penerima Fidusia memiliki Hak Prefensi yaitu hak untuk mengambil pelunasaan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi Obyek jaminan Fidusia.[35] Hak prefensi baru diperoleh pada saat didaftarkanya Fidusia diKantor Pendaftaraan Fidusia dan Hak dimaksud tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.[36] Jika piutang dialihkan kepada pihak lain, maka Fidusia yang menjamin hutang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan Fidusia.
            Jadi seandainya karena alasan apapun, benda Jaminan Fidusia tersebut beralih ketangan orang lain, maka Fidusia atas benda tersebut tetap saja berlaku dan tidak ada kewajiban dan tanngung jawab dari Penerima Fidusia atas akibat kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dari Pemberi Fidusia, yang timbul karena hubungan konraktual ataupun karena perbuatan melawan hukum, sehubungan dengan pengunaan dan pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.
            Hak didahulukan atau hak preferent yang dimiliki kreditor sesuai dengan penengasan Pasal 27 ayat (3) UUJF. Pasal ini menengaskan bahwa hak didahulukan yang dimiliki kreditor tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi dari debitor/pemberi fidusia. Dalam praktiknya. Mengalihkan obyek jaminan fidusia dapat dikategorikan penggelapan.
            Rumusan itu disebut/ diberi kualifikasi penggelapan. Rumusan diatas tidak memberi arti sebagai membuat sesuatu menjadi gelap atau tidak terang, seperti arti kata yang sebenarnya. Perkataan verduistering yang kedalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyrakat Belanda diberikan arti secara luas ( figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap.
            Pada contoh yaitu pengalihan hak atas obyek jaminan fidusia oleh pemberi fidusia tanpa sepengetahuan dan ijin tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, maka berdasarkan Pasal 36 Undang-Undang Fidusia, dapat dikenai tindakan pidana dan dijatuhi hukuman.
            Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut diatas, jika dirinci terdiri dari unsur-unsur objektif meliputi perbuatan memiliki (zicht toeigenen), sesuatu benda (eenig goed), yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan, ndan unsur-unsur subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja (opzettelijk), dan penggelapan melawan hukum (wederrechtelijk).
            Perbuatan memiliki. Zicht toeigenen diterjemahkan dengan perkataan memiliki, menggap sebagai milik, atau ada kalahnya mennguasai secara melawan hak, atau mengaku sebagai milik. Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25-2-1958 No. 308 K/Kr/1957 menyatakan bahwa perkataan Zicht dalam bahasa Indonesia belum ada terjemahan resmi sehingga kata-kata itu dapat diterjamahkan dengan perkataan mengambil atau memiliki. Waktu membicarakana tentang pencurian dimuka, telah dibicarakan tentang unsure memiliki pada kejahatan itu.
            Pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaanya dengan memiliki pada pencurian. Perbedaan ini, ialah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki ( benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memilki berupa unsur objektif, yakni unsure tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyratakan benar-benar ada wujud dari unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja.
            Tetapi pada penggelapan, memiki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wuhjud dari unsur memilki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memilki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan.
            Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, mengadaikan dan sebagainya. Pada Pencurian, adanya unsure maksud untuk memiliki sudah tampak dari adanya perbuatan mengambil, oleh karena sebelum kejahatan itu dilakukan benda tersebut belum ada dalam kekuasaanya, sebelum penggelapan. Oleh sebab objek kejahatan, sebelum penggelapan terjadi telah berada dalam kekuasaanya, maka menjadi sukar untuk menentukan kapan saat telah terjadinya penggelapan tanpa adanya wujud perbuatan memiliki.
            Unsure objek kejahatan ( sebuah benda). Pembentukan pasal 362 diterangkan bahwa benda yang menjadi objek pencurian adalah benda- benda bergerak dan berwujud, yang dalam perkembangan praktik selanjutnya sebagaimana dalam, berbagai putusan pengadilan telah ditafsirkan sedemikan luasnya,sehingga telah menyimpang dari pengertian semula. Seperti gas dan energy listrik juga akhirnya dapay menjadi objek pencurian. Berbeda dengan benda energy listrik juga akhirnya dapat menjadi objek pencurian. Berbeda dengan benda yang menjadi objek penggelapan, tidak dapat ditafsirkan lain dari sebagai benda uang bergerak dan berwujud saja. Perbuatan memiliki terhadap benda yang ada dalam kekuasaanya sebagaiama yang telah diterangkan diatas, tidak mungkin dapat dilakukan pada benda-benda yang tidak berwujud.
            Pengertian benda yang berada dalam kekuasaanya sebagai adanya suatu hubungan langsung dan sangat erat dengan benda itu, yang sebagai indikatornya ialah apabila ia hendak melakukan perbuatan terhadap benda itu, dia dapat melakukannya secara langsung tanpa harus melakukan perbutaan lain terlebih dulu, adalah hanya terhadap benda-benda berwujud dan bergerak saja, dan tidak mungkin terjadi pada benda-benda yang tidak berwujud dan benda-benda tetap.
            Adalah sesuatu yang mustahil terjadi seperti menngelapkan rumah, menggelapkan energy listrik maupun menggelapkan gas. Kaluapun terjadi hanyalah menggelapkan surat rumah ( sertifikat tanah), menggelapkan tabung gas. Kalau terjadi misalnya menjual gas dari dalam tabung yang dikuasainya karena titipan, peristiwa ini bukan penggelapan, tetapi pencurian. Karena orang itu dengan gas tidak berada dalam hubungan menguasai. Hubungan menguasai hanyalah terhadap tabungnya.
            Hanya terhadap tabungnya ia dapat melakukan segala perbuatan secara langsung tanpa melalui perbuatan lain terlebih dulu. Lain dengan isinya, untuk berbuat terhadap isinya misalnya menjualnya, ia tidak dapat melakukan secara langsung tanpa melakukan perbuatan lain, yakni membuka kran tabung umtuk mengeluarkan/memindahkan gas tersebut.
            Sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Benda yang tidak ada pemiliknya, baik sejak semula maupun telah dilepaskan hak miliknya tidak dapat terjadi objek penggelapan.benda milik suatu badan hukum, seperti milik Negara adalah berupa benda yang tidak/ bukan dimilki oleh orang, adalah ditafsirkan sebagai milik orang lain, dalam arti bukan milik petindak, dan oleh karena itu dapat menjadi objek penggelapan maupun pencurian.
            Orang lain yang dimaksud sebagai pemilik benda yang menjadi objek penggelapan, tidak menjadi syarat sebagai orang itu adalah korban, atau orang tetentu, melainkan siapa saja asalkan bukan petindak sendiri. Arrest HR tanggal 1 Mei 1922 dengan tegas menyatakan bahwa untuk menghukum karena penggelapan tidak disyaratkan bahwa menurut hukum terbukti siapa pemilik barang itu. Sudah cukup terbukti penggelapan bila seseorang menemukan sebuah arloji dikamar mandi stasiun kereta api, diambilnya kemudian timbul niatnya untuk menjualnya, lali dijualnya.
            Benda dalam berada kekuasaanya bukan karena kejahatan. Disini ada 2 unsur, yang pertama aberda dalam kekuasaanya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaanya telah disinggung diatas. Suatu benda berada dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemekian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segala macam kekuataan terhadap benda itu ia dapat segera melakukanya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain.
            Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan menjualnya, menghibahkannya, menukarkanya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan anatara agar ia dapat berbuat secara langsung).
B .        Sanksi hukum Terhadap Adanya Kejahatan Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia
            Bagian penting dalam sistem pemidanaan adalah menetapkan suatu sanksi. Keberadaanya akan memberikan arah dan pertimbangan mengenai apa yang seharusnya dijadikan sanksi dalam suatu tindak pidana untuk menegakan berlakunya norma disisi lain, pemidanaan itu sendiri merupakan proses paling kompleks pada sistem peradilan pidana karena melibatkan banyak orang dan institusi yang berbeda.
            Setiap hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuataan suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi tersebut. Misalnya mengenai sanksi negatif umpamanya pada pelaksaan hukuman mati, paasti akan menimbulkan persepsi yang berbeda.[37]
            Sebelum membicarakan masalah jenis-jenis pidana yang dikenal orang didalam Hukum Pidana Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu, yaitu apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan pidana itu sendiri.
            Menurut Van Hamel, arti dari pidana atau straft menurut hukum positif dewasa ini adalah:
Een bijzonder leed, tegen den oprtreder van een door ben staat geandhaafd rechtsvoorscarift, opden den enkelen grond van dieopertrading, van wege den staat als handhaver der openbare, door met met de rechtbedeeling belaste gezag uit te spreken.
Suatu penderitaan yang besifat khusus, yangf telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menajatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harlus ditegakan oleh Negara.[38]
Menurut simons, pidana atau strarf itu adalah :
Het leed, door de strafwet als gelvolg aan overtrading van d norm verbonden, data aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.
Artinya:
Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana yang telah dikaitakan dengan pelaggaran terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.[39]
Algra-Jansen telah merumuskan pidana atau straf sebagai:
Het middle waarmee de overhedi (recthter) degene die een ontoelaatbare hamdelling pleegt terechwijst of tot orde roept. Deze reactive van de overhead op zinj handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescheriming die hijz, als hij geen delict gepleegd zou hebben, gentlet t.a.v zijn leven, zijn vrijheid, zijn vermogen.
Artinya:
Alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memeperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebuttelah mencabut kembali sebagian dari perlindumgan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.
            Ini berarti pidana bukan merupakan suatu tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Hal tersebut perlu dijelaskan, agar di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara berpikir dari penulis di Negeri Belanda, karena mereka seringkali telah menyebut tujuan dari pempidanakan dengan perkataan tujuan dari pidana, hingga ada beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadarinya kacaunya cara berpikir para penulis Belanda itu, secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel der straf sebenarnya adalah tujuan dari pemidanaan.
            Berdasarkan konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia dibawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kresitor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:
1.      Barang siapa dengan maksud untuk mengutungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang tseluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasaan dengan pidana penjara paling lam Sembilan bulan.
2.      Ketentuan Pasal 365 ayat kedua,ketiga,dan keempat berlaku bagi kejahataan ini.
Situasi ini terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam kantor fidusia.
Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui dalam barang tersebut sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengesekusi tetapi tidak didaftarkan dalam dikantaor fidusia.
Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, karena fidusia tersebut sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
 Bahwa pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor.
Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, karena fidusia tersebut tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat.
UU Fidusia hanya mengatur pidana Pasal 35
Setiap orang yang dengan sengaja memalsulkan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000,-(seratus juta rupiah).
Pemberi Fidusia yang menaglihkan, mengadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat(2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu daripenerima fidusia, dipidanakan dengan pidana penajara paling lama 2(dua) tahun dan paling banyak Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah).
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Blitar No.247/Pid . P/2009/PN. Blt, tanggal 14 Febuari 2010 menjatuhkan pidana kepada pelaku pengalihan objek jaminan fidusia tanpa ijin yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1.      Menyatahkan terdakwa: Mahmudi bin Sumalih, telah terbukti secara sah dan meyakimkan bersalah melakukan tindak pidana “mengalihkan benda Yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia Yang Dilakukan tanpa Persetujuan Tertulis terlebih Dahulu dari Penerima Fidusia”.
2.      Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan Pidana Penjara selama 8( delapan) bulan dan denda sebesar Rp.50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), dan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut, maka diganti dengan Pidana Kurungan Pengganti denda selama 3 (tiga) bulan:
3.      Menetapkan agar barang bukti berupa:
-          1 (satu) unit Sepeda motor Honda NF 100 TD (Revo), Nomor Polisi: AG 4427 KT, warna biru , Tahun 2008, Nomor Ramgka: MHIHB62188K272070, Nomor Mesin:HB62E 1268521, atas nama : Mahmudi, alamat: Dusun/Desa Soso RT.3/2 Gandusar i Blitar, berikut STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) tersebut, dikembalikan kepada PT. Sasana Artha Finance (SAF)
4.      Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000,- (lima ribu rupiah).
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jamina fidusia menimbulkan akibat hukum yang komplek dan berisiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenagan-wenagan dari kreditor. Bisa juga karenamengingat pembiyaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitor sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor.
Yang dimaksud pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut didalam sebuah lembaga permasyrakatan, dengan mewajibkan orang untuk menaati semua peraturan tata tertib yang berlaku didalam lembaga permasyrakatan, yang dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.
Pidana penjara sudah dikenal orang sejak abad keenam belas atau abad ketujuh belas, tetapi berbeda dengan pidana penjara dewasa ini, pidana penajara pada waktu itu dilakukan orang dengan menutup para terpidana dimenara-menara, dipuri-puri, dibenteng-benteng dan lain-lain, khususnya mereka yang telah dijatuhi pidana mati, tetapi kemudian juga mereka yang telah dijatuhi pidana berupa perampasan kemerdekaan, baik yang untuk sementara ataupun yang untuk seumur hidup.
Pidana penjara sebagaimana yang dapat kita jumpai dewasa ini baru mulai berkembang sejak dihapuskanya pidana mati atau pidana badan diberbagai negara, tetapi perlakuan terhadap para terpidana didalam rumah-rumah penjara sering kali sifatnya adalah tidak manusiawi.
Banyak usaha yang telah dilakukan orang agar perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para terpidana segera dapat dihentikan dan diganti dengan tindakan-tindakan yang bersifat lebih lunak.
Sejak abad ketujuh belas, dimana-mana orang mulai membangun apa yang disebut tuchtauizen atau lembaga-lembaga penertiban, dan apa yang disebut werkplaatsen atau lembaga-lembaga kerja, mula-mula di Amsterdam, kemudian di Hanzesteden, semuanya di negeri Belanda, yang kemudian disusun dengan lembaga-lembaga yang sejenis hampir diseluruh Eropa, antara lain apa yang disebut verbeterhuis atau lembaga untuk memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma pada tahun 1703 dan apa yang disebut tuchthuis atau lembaga penertiban di Gent pada tahun 1775.
Sejak saat itu orang menghendaki agar pidana penjara mempunyai tujuanya yang tersendiri, yaitu buak saja dengan maksud untuk menutup dan mebuat jera para terpidana melainkan juga memperbaiki para terpidana, terutama dengan mewajibkan mereka untuk menaati peraturan-peraturan tata tertib dan membidik mereka secara sistematis untuk melakukan macam-macam pekerjaan.
Dengan tujuan seperti itulah apa yang disebut tuchthuizen,rasphuizen dan apinhuizen di Amsterdam dan Hanzesteden itu telah dibangun, yakni dengan maksud agar para pengemis, para pemabok, para pelacur dan remaja-remaja yang telah mendapat pengaruh dari para penjahat dapat membiasakan diri dengan melakukan berbagai pekerjaan yang berguna bagi mereka, apabila mereka sewaktu-waktu dikemabalikan ketengah-tengah kehidupan masyarakat normal.
  Tuchthuis secara harfiah artinya rumah penertiban. Yang dimaksud dengan tuchtuis diatas adalah rumah penjara untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat, sedang rasphuis adalah rumah penjara diamana kepada para terpidana diberikan pelajaran tentang bagaimana caranya memintal benang.
Lembaga untuk memperbaiki anak-anak laki-laki di Roma dan apa yang disebut tucthtuis di Gent itu, dengan sengaja telah membangun dengan maksud untuk memisahkan para terpidana pada malam hari didalam selnya masing-masing. Sama halnya dengan kebiasaan untuk menentapkan para terpidana secara terpisah sesuai dengan berat-ringanya pidana yang harus mereka jalankan di rumah-rumah penjara mana pun didunia ini, kita di Indonesia pun mengikutikebiasaan, yaitu untuk menempatkan mereka yang dijatuhi pidana kurungan secara terpisah dengan mereka yang dijatuhi pidana.[40]
Peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lembaga-lembaga permasyarakatan di Indonesia itu adalah Ordonansi 10 Desember 1917, staatsblad Tahun 1617 Nomor 708, yang juga dikenal dengan sebutan Gestichtereglement.
Hingga dewasa ini belum berhasil membentuk suatu peraturan perundang-undangan yang baru, yang sesuai dengan gagsan untuk mengubah nama rumah penjara dengan nama lembaga permasyarakatan, hingga apa yang diatur didalam Gestichtenreglement itu sudah barang tentu tidak sesuai lagi dengan tujuan untuk membuat lembaga-lembaga permasyarakatan itu sebagai lembaga-lembaga untuk memasyarakatkan kembali para terpidana, yang sedang menjalankan pidana mereka didalamnya.
Menurut ketentuan didalam Pasal 4 Gestichtenreglement, yang disebut gevangenen atau orang-orang tahanan itu adalah :
a.       Orang-orang yang menjalankan pidana penjara atau pidana kurungan,
b.      Orang-orang yang dikenakan penahanan sementara,
c.       Orang-orang yang disandera (gegijzelden), dan
d.      Lain-lain orang yang sedang tidak mejalankan pidana penjara atau pidana kurungan, akan tetapi yang secara sah menurut undang-undang dimasukan kedalam lembaga permasyrakatan.
Pasal 30 ayat 1(satu) Gestichtenreglenent melarang setiap Kepala Lembaga Permasyarakatan menerima orang untuk ditutup didalam lembaga permasyarakatan yang ia pimpin, apabila tidak disertai dengan suatu putusan hakim, suatu surat perintah atau suatu penetapan yang telah dikeluarkan oleh kekusaan yang berwenang.
Bagaimana jika terpidana yang dimaksudkan didalam suatu Lembaga Permasyarakatan itu adalah seorang wanita yang masih menyusui anaknya?
Apabila terpidana menghendakinya, maka ia dapat membawa anaknya yang masih menyusu kedalam lembaga permasyarakatan, dengan ketentuan bahwa segera setelah anaknya tidak perlu lagi untuk disusui oleh ibunya atau selambat-lambatnya dua tahun setelah terpidana dimasukan kedalam penjara, anak itu harus dibawa keluar dari lembaga permasyarakatan untuk dipelihara oleh ayahnya atau oleh anak keluarganya.
Ketentuan sebagaimana yang dimaksud diatas, juga berlaku bagi anak-anak yang dilahirkan didalam lembaga permasyarakatan. Seseorang yang diterima didalam suatu lembaga permasyarakatan untuk menjalakan pidana penjara, sama sekali tidak diperkenankan membawa barang apapun juga, sedang lain-lain orang tahanan termasuk mereka yang harus menjalankan pidana kurungan dengan siizin Direktur Lembaga Permasyarakatan dapat membawa barang-barang yang ada pada mereka ketempat dimana mereka akan ditempatkan dalam lembaga permasyarakatan.
Ketika proses hukum sedang berlangsung dan selama pihak debitor belum menyerahkan barang kepada pihak Kepolisian atau pihak perusahaan maka debitor yang bersangkutan akan menjalanin proses hukum dengan tuntutan telah melakukan tindak pidana pengalihan objek jaminan fidusia, dan segala kosekwensi dari proses ini perusahaan tidak akan mendapatkan kembali barang sebagai jaminan dari pihak debitor. Tetapi biasanya setelah proses tindak pidana tersebut dilimpahkan kepada Kepolisian, pihak debitor akan dapat mengembalikan barang/ kendaraan tersebut kepada pihak Perusahaan. Karena pada umumnya pihak debitor tidak mau menjadi tahanan pihak kepolisian.
Sebenarnya tindakan pelaporan terhadap pidana pengalihan objek jaminan fidusia yang dilakukan oleh debitor kepada pihak Kepolisian ini merupakan salah satu jalan terakhir, mengingat pihak debitor tidak dapat menyerahkan atau membuktikan barang yang telah termasuk kepada perjanjian sewa beli yang merupakan barang jaminan. Dan status barang tersebut sebenarnya masih dalam kekuasaan kreditor.
C.     Upaya Yang Dapat Dilakukan Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia
Asas perjanjian “pacta sun servanda” yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang besepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia dibawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi. Proses eksekusi harus dilakukan dengancara mengajukan gugatan perdata kePengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunya putusan pengadilan.
Dengan demekian kebijakan hukum pidana berkaitan dengan proses penegakan hukum (pidana) secara menyeluruh. Oleh sebab itu kebijakan hukum pidana diarahkan pada konkretisasi/koperasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana material ( substansial), hukum pidana formal (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana. Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat dikaitkan dengan tindakan-tindakan.
1.      Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana;
2.      Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;
3.      Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;
4.      Bagaimana mengunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.
Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materil yang dikandungnya. Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis.
Dengan demekian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan mengunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy) khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social defence”.
Dalam kebijakan hukum pidana, pemberian untuk menaggulangi kejahatan merupakan salah satu upaya disamping upaya-upaya lain. Penanganan kejahatan melalui sistem peradilan pidana merupakan sebagian kecil dari penaganan kejahatan secara keseluruhaan.
Upaya melalui sistem peradilan pidana dikenal dengan istilah “upaya penal” yaitu dengan mengunakan peraturan perundang-undangan pidana, disamping upaya “non penal” yang penekanannya ditujunjukan pada faktor penyebab terjadinya kejahatan. Keseluruhaan penaggulangan kejahatan ini merupakan politik kriminal. Kebijakan kriminal atau politik kriminal adalah suatu usaha rasional untuk menaggulangi kejahatan.
Politik kriminal ini merupakan bagian darki politik penegakan hukum yang arti luas ( law Enforcement policy) yang merupakan bagian dari politik sosial (social policy) yakni usaha dari masyarakat untuk meningkatkan kesejatahteraan warganya.
Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menajdi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting.
Sekarang ini banyak sekali esksekusi yang dilakukan oleh pihak pembiayaan kendaraan bermotor terhadap konsumen kredir sepeda motor/mobil yang menuggak angsuranya, padahal tindakan mereka tersebut adalah ilegal karena mereka tidak mempunyai hak esksekutorial akibat dari tidak terdaftarnya perjanjian jaminan fidusia antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan. Hal ini sudah lama berlangsung sampai sekarang tanpa adanya tindakan yang diambil dari pihak pemerintah sedangkan dari pihak konsumen mereka kebanyakan tidak tahu apakah perjanjian jaminan fidusia yang mereka tandatanggani tersebut tidak didaftarkan. Seharusnya eksekusi ilegal tersebut mendapat sanksi dari aparat penegak hukum karena sudah diatur dalam UU No,42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Selama sistem penegakan hukum dinegara ini tidak berjalan dengan benar, penegakan hukum yang tidak konsekuen dari para penegak hukum yang memiliki kekuasaan, ujung-ujungnya adalah rakyat yang menjadi korban. Akhirnya terjadi peningkatan permintaan jasa penagihan sehingga mucullah para debt collector baik yang bekerja sendiri maupun yang terorganisir sampai dengan tragedi kematian.
Solusi yang perlu dilakukan pemerintah bersama DPR adalah membuat Undang-Undang yang mengatur tentang jasa penagihan, mengesahkan jasa penagihan sebagai salah satu profesi yang dapat diakui oleh masyrakat luas, dan diatur bagaimana komunitas atau seseorang dapat melakukan jasa ini dengan memiliki sertifikasi melalui pelatihan-pelatihan tertentu sehingga komunitas ini memiliki keahlian sebagai seorang tenaga atau profesi jasa penagihan yang profesional yang tidak bertentangan dengan hukum nasional Indonesia.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A.    Kesimpulan
1.      Ketentuan hukum terhadap pelarangan pengalihan obyek jaminan fidusia ditinjau dari Undang-Undang No.42 Tahun 1999 secara jelas diatur pada pasal 36. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya pernjatuhan hukuman bagi pelaku pengalihan obyek jaminan fidusia tanpa izin ,yaitu pada Putusan Pengadihan  Negeri  Blitar NO.247///Pid.B/2009/PN.Blt yang menjatuhkan hukuman pada pelaku .
2.      Penerapan sanksi yang dilakukan Perusahaan terhadap tindak pidana pidana pengaluhan objek jaminann fidusia yang dilakukan debitor adalah :
a.       Dengan melakukan pengambilan / penyitaan secara paksa meskipun barang /kendaraan (tersebut berada pada pihak ketiga(sudah tidak ada ditangan  debitor),tetapi petugas pelaksananya masih dilakukakn oleh petugas .
b.      Dilaporkan kepihak kepolisian ,karena pihak perusahaan tidak dapat melakukan tindakan terhadap debitur,karena debitornya sulit ditemui ,atau tidak dapat menunjukkan /menyerahkan barang yang menjadi jaminan .
3.      Upaya-upaya yang dilakukan oleh petugas oleh perusahaan  dengan cara apapun tidak dapat berhasil dengan baik, sehingga jalan terakhir yaitu, dengan melaporkan ke pihak kepolisian.



B.Saran
1.      Para karyawan bagian Marketing seyogianya lebih memperhatikan kinerja debitor dalam membayar kewajibannya dalam membayar kewajibannya terhadap dan tidak sekedar mengejar  nasabah sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kemampuan debitor.
2.      Menjalin Kerjasama dengan instansi terkait , terutama dengan pemerintahan setempat dimana pihak  debitor tinggal ,karna dengan demikian dapat diperoleh informasi seakurat  mungkin mengenai tindakan yang dilakukan oleh debitor terhadap barang /kendaraan roda empat (mobil) yang menjadi jaminan .
3.      Sebaiknya debitor dapat menjalankan kewajibannya dengan baik , sheingga benda objek jaminan  fidusia tidak  perlu di alihkan lagi.


worldwikileas.blogspot.co.id 
 
DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU-BUKU
A.Zainal Abidin Farid.1995. Hukum Pidana I. Sinar Grafika . Jakarta.
Adrian Sutedi,2008. Tanggung Jawab Produk (dalam Hukum Perlindungan Konsumen ),
Bogor: Ghalia Indonesia,
Astiko dan sunardi, 1996. Pengantar manajemen Perkreditan. Andi. Yogyakarta.
Edy Putra TjeAman . Kredit Perbankan Suatu Tinjauan  Yuridis. Liberty,Yogyakarta.2003
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia .
Raja  Grafindo       Aditya  Bakti. Bandung.
Hasanuddin Rahman ,1998. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan Citra                    Aditya Bakti. Bandung.
Munir  Fuady . Jaminan Fidusia .Aspek-Aspek  Hukum  Pemberian Kredit Perbankan                   Citra Aditya  Bhakti ,Bandung .2002..
Thomas Soebroto. Tanya Jawab Hukum    Jaminan   Hipotik  Fidusi  Penanggungan  dan
 lain lain . Dahara Prize. Semarang.1995.
M.Bahsan ,2007. Hukum Jaminan  dan Jaminan Kredit Perbankan  Indonesia.                               Raja Grafindo Persada.Jakarta.
Memoar  Abdullah  Ali. 1995. Liku-liku Perjalanan Perbankan Indonesia .Gramedia         Widiasarana  Indonesia. Jakarta.
Moljatno. Kitab  Undang-undang Hukum Pidana . PT Bumi Aksara .Jakarta.2000
Muhammad Djumhana, 2006. Asas-asas Hukum Perbankan Indonesia .                                          Citra Aditya Bakti. Bandung
Munir  Fuady.1999. H            ukum Bisnis dalam Teori dan Buku Kedua . Citra Aditya Bakti. Bandung.
P .A.F Lumintang .1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia .Citra Aditya Bakti.Bandung.
Schaffmeister dkk..1995.Hukum Pidana .Liberty.Yogyakarta.
Subekti.1996. Jaminan –jaminan untuk Memberikan Kredit..Citra Aditya Bakti.Bandung.
Sri Soedewi M.sofwan. 19980. Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga
Jaminan Fidusia didalam Praktik dan Perkembangan di Indonesi.  
Fakultas Hukum UGM.Yogyakarta.
Thomas soebroto. 1995 Tanya Jawab Hukum Jaminan . Hipotik Fidusia                 Penanggungan  dan   lain-lain.Dahara Prize. Semarang .1995.
Topo Santoso dan Eva Achjani .2000. Kriminologi.Rajawali Press.Jakarta.

KARYA ILMIAH /SITUS INTERNET
Hardjima.        “Sekilas             tentang           Fidusia       dan          Jaminan      Fidusia” .                                              
http: //hardjima.wordpress.com/2008/04/15/sekilas-tentang-fidusia-dan –jaminan-fidusia/. diakses tanggal 8 April 2014.
Sifat Hak Tanggungan . Jaminan Fidusia dan Jaminan Gadai.                                                          http:// pumkiens.multiply.com/reviewrs/item/5. Diakses tanggal 01 April 2014








[1] Munir fuady, Hukum Jaminan Utang,Penerbit Airlangga,Tahun 2013,hal 118-119
[2] Moeljatno.2008.Asas-asas Hukum Pidana . Jakarta :Rineka Cipta . halaman 185
²Ibid halaman 186

[3] Ibid halaman 186
[4] Syafrudin Husein .2003. Kejahatan dalam Masyarakat dan upaya Penanggulangannya .makalah.Fakultas Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatra Utara.Medan . Halaman 1.
[5] Ibid.
[6] Moeljatno,op,Cit. halaman 61
[7]  P .A.F Lumintang .1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia .Citra Aditya Bakti.Bandung.Halaman 182
[8] Ibid .Halaman 184
[9] Moeljatno,Loc.Cit.
[10] Ibid ,halaman 62
[11] Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung Alumni,Halaman 148
[12] R.soenarto soerodibroro ,2003, KUHP dan KUHAP ,Jakarta: Raja Grafindo Persada ,Halaman ,halaman 9
[13] P.A.F. Lamintang Halaman 184
[14] Dwidja Priyatno. 2006.,Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia .Jakarta: Refika Aditama . Halaman 2
[15] Muladi dan Barda Nawawi Arief,Op.Cit. halaman 173
[16]Gunawan widjaja .Op.Cit. Halaman 75
[17] Ibid
[18] Acmeira “hukum jaminan kebendaan.” http://skullcmeira.blogspot.com/2011/10/hukum-jaminan-kebendaan.html,diakses tanggal 02 April 2014
[19] Ibid .halaman 60
[20] Vanplur.”Hukum Jaminan “ http://vanplur.wordpress.com/2011/04/23/hukum -jaminan/.. diakses tanggal 12 April 2014
[21] Marulak Pardede,2006. Implementasi Jaminan Fidusia dalam Pemberian Kredit di Indonesia,Jakarta: Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI .Halaman 35
[22] Ibid
[23] Munir  Fuady.1999. H    ukum Bisnis dalam Teori dan Buku Kedua . Citra Aditya Bakti. Bandung.

[24] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. Seri Hukum Bisnis Jaminan Fidusia .Raja  Grafindo  Aditya  Bakti. Bandung.

[25] Marulak Pardede,Op.Cit. halaman 35
[26] Ibid
[27] “sifat Hak Tanggungan . Jaminan Fidusia dan Jaminan Gadai. http://pumkienz.multply.com/reviews/5.diakses tanggal 01 April 2014
[28] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,. Op.Cit.halaman  134
[29] Handjima.”Sekilas tentang fidusia dan Jaminan Fidusia “.http://handijma.wordpress.com/2008/04/15/sekilas-tentang-fidusia/.diakses tanggal 8 April 2014
[30] Munir Fuady,Op.Cit.,halaman 51
[31] Hardjima.Loc.Cit
[32] Ibid
[33] Ibid
[34] P.A.F . Lamintang ,Op,Cit,halaman 146
[35] Ibid . halaman 153
[36] Ibid
[37] P.A.F. Lamintang ,Op.Cit. halaman 594
[38] Grace P.Nugroho ,”eksekusi Terhadap Benda Objek Perjanjian Fidusia dengan Akta di Bawah  Tangan “,http://hukumonline./berita/baca.hol17783/eksekusi-terhadap-benda-objek-perjanjian-fidusia-dengan-akta-di-tangan.diakses tanggal 10 April 2014
[39] Wirjono Prodjodikoro,1986. Hukum Perdata tentang  Hak atas Benda, Bandung Intermasa,halaman 174

Tidak ada komentar: